SBY: Bersihkan Seluruhnya; Buat Aturan Sanksi Pemiskinan bagi Koruptor
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan, secara kumulatif, praktik mafia kasus di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sangat merugikan negara. Selain melibatkan rantai institusi penegak hukum, praktik itu juga merugikan rakyat akibat penerimaan negara yang diselewengkan.
Presiden Yudhoyono menginstruksikan agar dilakukan pembersihan secara menyeluruh praktik mafia, tak hanya di Ditjen Pajak, tetapi juga di sejumlah instansi pemerintah lainnya.
Instruksi itu diungkapkan, Rabu (7/4), sesaat sebelum Presiden meninggalkan Tanah Air menuju Hanoi, Vietnam. Dalam keterangan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, itu Presiden didampingi Wakil Presiden Boediono, sejumlah menteri, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri.
”Secara kumulatif, praktik mafia ini sungguh merugikan negara. Inilah saat yang tepat untuk melakukan pembersihan menyeluruh. Saya mendukung dan menghargai langkah cepat di Kementerian Keuangan untuk melakukan penindakan terhadap oknum yang terlibat. Saya juga menginstruksikan agar hal yang sama dilakukan di instansi lain, sesuai aturan dan hukum berlaku,” papar Presiden.
Praktik mafia hukum yang terjadi saat ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. ”Lima tahun lalu, saya mengingatkan agar bisa dihindari kejahatan di lingkungan perpajakan, baik oleh aparat pajak atau yang disebut korupsi maupun oleh wajib pajak, yang disebut tidak bayar pajak atau bayar pajak, tetapi tidak lengkap, serta kejahatan yang ditemukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang disebut sindikasi dan kongkalikong dalam perpajakan,” ungkap Presiden.
Sindikasi perpajakan yang terjadi melibatkan institusi penegak hukum, mulai dari Polri, Kejaksaan Agung, pengadilan dan hakim, hingga pengacara. ”Saya berharap ini diusut tuntas karena kejadian seperti ini masih terjadi. Kasus ini sungguh memprihatinkan. Ekonomi kita terus tumbuh. Tentu dunia usaha tumbuh dengan baik pula. Pertumbuhan dunia usaha harus tecermin dalam pajak yang disetorkan pada negara sebagai bagian penerimaan negara yang penting untuk biaya pembangunan,” tuturnya.
Presiden melanjutkan, ”Sebab itu, saya mengimbau agar semua pihak menjalankan UU Perpajakan dengan sebenar-benarnya. Hentikan kejahatan di wilayah itu karena sesungguhnya itu mengorbankan pembangunan dan mengkhianati rakyat.”
Wajib dimiskinkan
Di Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menuturkan, Rancangan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk menggantikan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20/2001, tetap menjadi program legislasi nasional tahun 2010. Sanksi dalam RUU itu pun lebih rendah dibandingkan dengan UU yang akan digantikan. ”Namun, hal itu bukan tak bisa diubah. Bahkan, saat pembahasan dengan DPR pun masih dapat diubah. Kita harus mengikuti perkembangan dalam masyarakat,” katanya.
Patrialis mengakui, setelah kasus dugaan korupsi, pencucian uang, dan penggelapan yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak Gayus HP Tambunan, yang dikenal sebagai praktik mafia hukum atau makelar kasus, masyarakat cenderung berkeinginan pelaku korupsi dan makelar kasus dihukum berat. Dinamika ini harus tampak dalam perubahan UU Pemberantasan Korupsi.
Bahkan, kata Patrialis, selain layak dijatuhi hukuman mati, koruptor juga wajib dimiskinkan. Aturan ini akan memberikan efek jera koruptor atau pejabat yang berniat mengorupsi uang negara. Dengan dimiskinkan, setiap pejabat akan memperhitungkan kembali langkahnya mengorupsi uang negara karena akan dirampas negara lagi. ”Jadi, dia akan belajar, tak ada gunanya menumpuk harta dari korupsi kalau pada akhirnya harta itu dirampas kembali oleh negara,” katanya.
Patrialis mengatakan, korupsi adalah pengkhianatan terbesar kepada negara. Kasus korupsi pajak, contohnya, tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menyakiti hati masyarakat.
Di Jakarta, secara terpisah, Rabu, Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Fahri Hamzah dan anggota Komisi III, Achmad Rubaie, sepakat hukuman badan kurang efektif untuk menekan korupsi. Sanksi itu juga tidak akan membuat jera koruptor atau calon koruptor. Sebab itu, kesejahteraan koruptor perlu disandera dengan menyita harta yang mereka miliki.
”Hukuman badan tidak menjerakan. Setelah keluar dari penjara, mereka (koruptor) masih bisa hidup mewah dengan harta hasil korupsi,” kata Fahri.
Rubaie menuturkan, penyanderaan kesejahteraan perlu dilakukan sebab kejahatan korupsi setingkat terorisme. Korupsi berarti merampas harta rakyat dan menghambat pembangunan.
Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi III DPR lainnya, Azis Syamsudin, berharap mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji membuka kasus dugaan mafia hukum lainnya. Dengan demikian, reformasi birokrasi dan penegakan hukum kasus ini dapat lebih cepat dilakukan. Susno yang pertama kali memaparkan kasus Gayus. (har/mdn/nta/nwo/dwa/aik/tra)
Sumber: Kompas, 8 April 2010