<p>Satu dekade bergulirnya

Satu dekade bergulirnya era reformasi telah dilewati. Tampuk kepemimpinan nasional pun telah berganti hingga empat kali. BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Puteri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Pergantian kepemimpinan ternyata tidak menjadi jaminan terwujudnya harapan perubahan. Bangsa ini belum keluar dari keterpurukan. Korupsi masih merajalela. Penegakan hukum lumpuh karena masih becokolnya mafia peradilan. Harga-harga kebutuhan pokok melambung. Rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan.

Satu dekade bergulirnya era reformasi telah dilewati. Tampuk kepemimpinan nasional pun telah berganti hingga empat kali. BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Puteri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Pergantian kepemimpinan ternyata tidak menjadi jaminan terwujudnya harapan perubahan. Bangsa ini belum keluar dari keterpurukan. Korupsi masih merajalela. Penegakan hukum lumpuh karena masih becokolnya mafia peradilan. Harga-harga kebutuhan pokok melambung. Rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan.

Indeks Persepsi korupsi (IPK) tahun 2007 yang diluncurkan Transparency International meletakan korupsi di Indonesia dalam kategori korupsi yang tidak terkendali (rampant) karena memiliki indeks korupsi di bawah 3. Nilai indeks di bawah 3 adalah ciri dari negara terbelakang dan miskin. Terdapat 40% (72 negara) dari total 180 negara di dunia yang memiliki kondisi korupsi dan kemiskinan seperti Indonesia. IPK Indonesia terus turun; 2,4 di tahun 2006 menjadi 2,3 di tahun 2007. Demikian juga dengan kemiskinan yang juga semakin meningkat dari 35 juta jiwa (15,97%) Februari 2005 menjadi 39 juta jiwa (17,75%) pada Maret 2006. Ini membuktikan korupsi adalah salah satu penyebab utama kemiskinan dan pemiskinan.

Hingga akhir 2007, BPK telah menemukan total penyimpangan anggaran negara sebesar 3.600 triliun rupiah. Dari angka ini 40% berpotensi dikorupsi. Ternyata besar anggaran negara yang dicuri, lebih besar nilainya dari total tanggungan subsidi BBM, subsidi pupuk dan cicilan utang luar negeri selama 5 tahun!. Lantas kenapa rakyat yang harus menanggung?

Perusakan lingkungan kini semakin menjadi-jadi. Pengalihan lahan hutan lindung untuk kepentingan bisnis, ternyata adalah ulah politisi korup. Penambangan yang membabi buta, telah memberangus hak-hak dasar rakyat Sidoarjo akibat semburan lumpur Lapindo. Lebih menyedihkan lagi, tanpa kita sadari selama lima tahun kita telah kehilangan 9,4 juta hektar hutan akibat penebangan kayu illegal.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia juga masih dapat kita lihat dengan mata telanjang. Dihentikannya pemeriksaan atas pembunuhan aktivis Munir, kasus Semanggi, dan Aceh adalah contohnya. Pemerintah bahkan secara nyata menghalang-halangi pemeriksaan kekerasan HAM masa lalu yang melibatkan para petinggi tentara. Cerita duka ini masih ditambah dengan praktek diskriminasi sosial, ekonomi, politik yang mendera rakyat miskin terutama perempuan, balita dan anak-anak usia sekolah.

Akhir-akhir ini, dengan mata telanjang kita melihat maraknya skandal politisi. Skandal politisi tumbuh subur, bak jamur di musim penghujan. Tak ada habisnya juga tak tau malunya! Potret buram keliaran politisi sudah memasuki tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Penghianatan demi penghianatan terhadap kepercayaan publik telah menjadi tumor ganas yang menggerogoti anggaran Negara. Mencekik kerongkongan rakyat miskin dan mempersulit akses terhadap pelayanan dasar. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kegagalan demokrasi. Situasi ini genting. Elit Politik dan Partai Politik harus menyadari munculnya delegitimasi yang meluas terhadap kekuasaan.

Rakyat kini muak dengan berkecambahnnya politikus busuk di Parlemen dan Pemerintahan, baik di Jakarta maupun daerah lainnya. Berbagai hasil survey publik dan hasil pemilihan kepala daerah sudah menggambarkan kekecawaan ini.

Dalam suasana kecewa, sedih dan khawatir kami membentuk kembali Gerakan Nasional Tidak Pilih Politikus Busuk (GANTI POLBUS!). Seruan ini memiliki dua makna tersirat. Pertama, harapan terhadap perbaikan demokrasi menjadi lebih substansial. Kedua, keinginan agar jangan ada lagi kebusukan di dunia perpolitikan kita. Betapa kami malu, melihat dan merasakan besarnya daya rusak dan betapa rendah dirinya bangsa ini akibat ulah Politikus Busuk. Negeri ini tidak boleh terus memproduksi pemimpin yang tidak berintegritas dan cacat moral.

Secara tegas kami menolak jenis Politikus yang:
1) Boros, tamak dan Korup!
2) Penjahat dan Pencemar Lingkungan!
3) Pelaku kekerasan HAM atau yang memberikan perlindungan bagi pelanggar HAM!
4) Pelaku kekerasan terhadap KDRT dan diskriminasi terhadap hak-hak Perempuan!
5) Pemakai Narkoba dan Pelindung bisnis Narkoba!
6) Pelaku penggusuran dan tindakan yang tidak melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan politik kaum petani, buruh dan rakyat miskin kota!

Dari kekhawatiran dan kekecewaan yang mendalam, kami meminta:
1. Elit Politik dan Partai Politik untuk sesegera mungkin membenahi mekanisme rekruitmen internal, menghilangkan praktek

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan