Sanksi Sosial dan Hukum Korupsi
AKHIR-AKHIR ini muncul kecenderungan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan sanksi sosial di samping sanksi hukum seperti yang selama ini berjalan, terutama untuk kasus yang berkaitan dengan usaha pemberantasan korupsi.
Tampak misalnya, baru-baru ini Kadin mengadakan gerakan moral untuk memerangi praktik suap sebagai bagian dari korupsi yang ditujukan kepada seluruh dunia usaha yaitu dengan mengadakan kampanye nasional antisuap dan gerakan nasional antisuap. Sebelumnya, NU bekerja sama dengan Muhammadiyah untuk bersama melakukan gerakan moral untuk memberantas korupsi dan selanjutnya diharapkan kegiatan tersebut dapat diikuti oleh organisasi keagamaan yang lain.
Dari perkembangan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberantasan korupsi tidak mungkin hanya mengandalkan pendekatan hukum tetapi juga diperlukan pendekatan sosial yang berbasiskan pada moral dan budaya. Pendekatan ini sangat beralasan mengingat korupsi berkaitan erat dengan naluri manusia yang cenderung berkeinginan mengumpulkan harta kekayaan secara tidak terbatas.
Gerakan moral yang bertujuan mencegah dan memberantas korupsi sebenarnya bukan suatu gerakan baru. Gerakan semacam ini sudah dikenal sebelumnya dengan tidak terlalu banyak hasil yang dapat diperoleh. Tahun 1967 misalnya, dalam rangka memerangi korupsi dibentuk Komisi Empat dengan ketua Wilopo, S.H., dan anggota I.J. Kasimo, Prof. Johanes, dan Anwar Cokroaminoto dengan Bung Hatta sebagai penasihatnya. Pada 1971 dikeluarkan ketentuan tentang wajib daftar kekayaan bagi para pejabat tinggi dan para perwira ABRI. Pada tahun 1974 dalam rangka pendayagunaan aparatur negara dan hidup sederhana dikeluarkan ketentuan tentang pembatasan kegiatan pribadi pegawai negeri.
Kecuali itu, masih banyak gerakan moral lainnya, baik yang langsung maupun tidak mengenai korupsi seperti gerakan disiplin nasional dan terbaru tentang pelayanan umum. Berbagai kegiatan tersebut bukan semata bersifat normatif. Tetapi, juga sebagai gerakan moral dengan maksud agar dapat berlaku sanksi sosial yang berperanan baik prepentif maupun represif.
Meski harus diakui segala usaha tersebut belum beroleh hasil seperti yang diharapkan namun perkembangan terakhir menunjukkan adanya kemajuan dari sikap masyarakat, yakni telah makin berkembangnya keyakinan di kalangan masyarakat luas tentang bahaya korupsi dan ini merupakan bahan penting dalam mendorong lahir dan berkembangnya sanksi sosial.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana perkembangan tersebut dapat membangun suatu sanksi sosial yang efektif dan bagaimana peranannya dengan sanksi hukum yang berjalan selama ini.
Sanksi sosial berkaitan erat dengan sikap sosial dan sikap sosial ini berkaitan dengan penilaian sosial. Terdapat keterbatasan masyarakat untuk dapat memahami makna korupsi sebagai suatu perbuatan yang tidak bermoral, terutama yang berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan pelaku berupa kerugian negara. Sementara itu, penikmat korupsi sesungguhnya bisa tidak diri sendiri, melainkan bersama orang atau kelompok lain dan bahkan ada koruptor yang secara materiil ternyata sama sekali tidak menikmati hasil korupsinya. Hal tersebut dapat memengaruhi lahirnya suatu penilaian sosial dengan dasar ukuran moral secara umum.
Mungkin dari situlah gerakan moral memulai misinya. Bukan hanya dengan meyakinkan bahwa korupsi dapat melahirkan kerusakan terhadap semua sistem dan sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tetapi juga usaha perluasan ukuran moral menjadi sedemikan rupa sehingga dapat menjangkau pengertian tindak pidana korupsi yang begitu luas dan cukup rumit.
Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbaru (UU No. 20/2001) disebutkan bahwa gratifikasi termasuk tindak pidana suap yang mungkin secara moral dengan ukuran yang berjalan selama ini belum terjangkau menjadi sasaran sanksi sosial seperti yang diharapkan. Gerakan moral untuk membangun sanksi sosial harus sejalan dengan sanksi hukum yaitu dengan mendorong lebih dapat berperannya sanksi hukum. Sanksi sosial tidak boleh mengabaikan hukum. Sebaliknya, hukum dan pelaksanaannya harus mampu menyerap aspirasi dan nilai sosial.
Lahirnya gerakan moral didorong oleh ketidakpuasan terhadap pelaksanaan sanksi hukum yang belum maksimal dan dinilai sebagai terapi yang setengah-setengah sehingga tanpa solusi tambahan yang lain sulit memberantas korupsi yang sudah begitu akut. Selain itu, gerakan moral ditempuh karena sikap dan penilaian sosial terhadap korupsi sebagai perbuatan yang tidak patut dan tercela ternyata selama ini masih acak dan belum mengkristal untuk dapat dipergunakan sebagai suatu kekuatan penekan dalam pencegahan maupun penindakan.
Berbeda dengan tindak pidana umum misalnya pencurian, penipuan dan sebagainya yang dengan cepat langsung melahirkan sanksi sosial dan lansung diberlakukan. Untuk tindakan-tindakan itu, ajaran moral dan keyakinan agama telah begitu tegas menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang tidak patut dan harus dilawan dan dibasmi, siapa pun pelakunya.
Dengan demikian, dapat saja berdasarkan ukuran moral secara umum perbuatan merampok, mencuri, menipu, di mata masyarakat dapat lebih tercela dan tidak patut serta harus dibenci dan dijauhi dari pada perbuatan korupsi.
Pada tindak pidana korupsi, penilaian dan sikap sosial harus dibangun dahulu. Sering pelaku korupsi dengan tingkat intelektualnya dan kemampuannya yang tinggi, membangun sikap sosial yang menjadikan dirinya justru menjadi yang paling bermoral.
Sanksi sosial dan hukum
Melihat keadaan saat ini, seiring menguatnya keyakinan masyarakat terhadap bahaya korupsi, usaha untuk menumbuhkan sanksi sosial sebagai suatu tindakan yang lebih konkret menjadi lebih mudah.
Permasalahannya adalah mengindentifikasi kasusnya yang tidak dapat cepat dan mudah bila dibandingkan tindak pidana umum. Kondisi yang demikian membuat proses sanksi sosial berjalan lambat dan selanjutnya dapat memengaruhi dukungan dan emosi yang sudah ada sehingga yang tampak adalah menjadi lemahnya kembali sanksi sosial dan selanjutnya menjadi cair dan lama-kelamaan menghilang.
Memang, kita tidak dapat mengharapkan pelaksanaan sanksi sosial yang bersifat spontan seperti pada pelanggaran tindak pidana umum. Tetapi, kecepatan bereaksi tetap diperlukan agar tujuan dari pelaksanaan sanksi sosial dapat terlihat dan dirasakan segera sehingga ancaman maupun putusan sanksi hukum berjalan bersamaan dengan berlakunya sanksi sosial. Kehadiran sanksi sosial yang demikian akan dapat memberi makna pada sanksi hukum yang lebih adil dan maksimal sebagaimana yang diharapkan oleh gerakan moral pemberantasan korupsi.
Idealnya adalah sanksi hukum sebagai bagian dari hukum positif dilahirkan mengimbangi hadirnya sanksi sosial. Begitu seseorang diduga dan disangka melakukan tindak pidana, masyarakat sekitarnya sudah memproses lahirnya suatu sanksi sosial yang langsung dapat terlihat dan dirasakan. Sanksi tersebut tidak perlu harus dibangun dahulu tetapi sudah berjalan dengan sendirinya disertai pertimbangan moral yang sudah umum dan baku.
Namun, tidak begitu mudah untuk tindak pidana khusus seperti korupsi yang merupakan extra ordinary crimes dengan rumusan delik yang begitu luas dan pembuktian yang tidak mudah. Meskipun demikian, bila sanksi sosial sudah terbiasa berjalan efektif terhadap pelaku korupsi dan kelompoknya, pelaksanaan kedua sanksi dapat merupakan pasangan yang harmonis dan saling menyempurnakan.
Bila hukum positif yang berlaku tidak mampu berperanan lebih luas secara drastis memberantas korupsi, yang tidak terjangkau oleh sanksi hukum dapat dihadapkan pada jangkauan sanksi sosial yang, bila benar-benar dapat berjalan, dapat dirasakan lebih efektif.
Dengan demikian, sanksi sosial bukan hanya bersifat preventif guna menciptakan masyarakat yang secara sadar menolak segala bentuk korupsi dan mendorong pelaksanaan sanksi hukum yang setimpal dan adil. Tetapi, juga mampu memberikan sanksi yang belum terjangkau oleh hukum positif tetapi masyarakat menilai patut juga diberikan suatu sanksi.
Seperti kita maklumi korupsi sudah diidentikkan dengan kolusi dan nepotisme yang belum semua sanksi hukumnya mampu menjaring dan memberikan sanksi, misalnya pada kelompok nepotisme seperti keluarga dan famili yang justru telah mendorong dan ikut menikmati hasil korupsi. Mereka inilah yang dari segi pembuktian sulit terjangkau diharapkan dapat dihadapkan pada pelaksanaan sanksi sosial yang sering dapat berlangsung lebih cepat dan keras.
Jalan bersama antara sanksi sosial dan sanksi hukum juga bermanfaat agar pelaksanaan sanksi sosial tidak berlangsung anarkis dan apriori. Lebih-lebih sudah disampaikan terdahulu tentang tidak mudahnya mengidentifikasi suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi.
Arah keberhasilan gerakan moral dan sanksi sosial utamanya bersifat pencegahan bukan hanya dari sisi masyarakat tetapi juga aparat penegak hukum termasuk bagi mereka yang karena tugasnya terbuka mudah untuk terlibat korupsi (suap dan gratifikasi). Termasuk istri, anak, dan keluarganya yang sepatutnya merasa malu kalau sampai disangka terlibat korupsi.
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan, sanksi sosial sebetulnya sudah berjalan dengan sendirinya dan bersamaan dengan pelaksanaan sanksi hukum. Bahkan, kadang berlangsung lebih awal dan keras. Tetapi, itu untuk pelanggaran suatu tindak pidana umum. Sementara itu, untuk tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi diperlukan suatu proses untuk membangun keyakinan sosial yang menempatkan secara tepat bahwa kejahatan korupsi bertentangan dengan nilai moral dan budaya.
Harus diakui, dengan ukuran moral yang berlaku, tidaklah mudah bagi masyarakat luas menempatkan perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan moral. Mengingat rumusan tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes cukup luas dengan proses pembuktian yang berlangsung cukup sulit.
Keberhasilan gerakan moral memerangi korupsi seperti yang berlangsung santer akhir-akhir ini -- antara lain mengharapkan dapat berlakunya sanksi sosial yang lebih efektif -- terletak bukan hanya pada masuknya nilai moral pada berlakunya sanksi sosial. Tetapi, juga pada masuknya nilai moral ke dalam hati mereka yang menjadi baik calon maupun tersangka korupsi dan keluarganya sehingga ancaman dan pengenaan sanksi sosial benar-benar dirasakan sebagai nestapa yang menimbulkan aib dan rasa malu yang panjang.(Rusalan, mantan jaksa, pemerhati masalah sosial dan hukum, tinggal di Bandung)
Tulisan ini diambil dari.....Rabu, 05 Nopember 2003