Sambangi Kejagung, ICW Minta Informasi Perkara Korupsi Dibuka
Jakarta, antikorupsi.org (30/09/2015) – Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kejaksaan Agung RI agar lebih transparan dalam menyediakan informasi penanganan kasus korupsi. ICW menilai Sistem Informasi Kejaksaan RI (SIMKARI) tidak digunakan secara efektif.
Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah menjelaskan, informasi penanganan kasus korupsi adalah informasi publik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Kami meminta informasi terkait penanganan kasus korupsi yang ditindak di Kejaksaan lewat surat permohonan. Informasi tersebut tidak termasuk informasi yang dikecualikan menurut undang-undang,” kata Wana di Gedung Kejagung RI, Jakarta Selatan. Rabu (30/09/2015).
Dalam laporan tahunan Kejaksaan sejak 2013, setiap tahunnya lembaga ini melaporkan telah menangani perkara korupsi lebih dari target yang ditetapkan. Pada tahun 2013, Kejaksaan memasang target penanganan 1500 perkara korupsi di tahap penyidikan, dan dalam laporannya, ada 1646 perkara yang berhasil ditindaklanjuti sampai tahap penyidikan.
Menurut Wana, data tersebut berbeda dengan hasil pemantauan dalam Laporan Tren Korupsi yang dirilis ICW. Pada tahun 2013, ICW memantau 364 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan dengan total kerugian negara senilai Rp 3,5 triliun.
“Dalam kurun waktu 2010-2014, kami memantau 1775 kasus yang terhenti pada tingkat penyidikan. Dari jumlah tersebut, sekitar 900 kasus mengalami perkembangan penanganan. Sementara sekitar 800 perkara lainnya belum ada perkembangan,” jelasnya.
Kejaksaan sebenarnya telah memiliki Sistem Informasi Kejaksaan RI (SIMKARI) sebagai sarana informasi penanganan perkara. Sistem ini dirancang untuk menyimpan, mengelola, dan menyajikan data penanganan perkara korupsi kepada publik.
Meskipun SIMKARI telah diuji oleh kantor-kantor Kejaksaan di berbagai provinsi pada 2011-2013, namun sistem yang telah menghabiskan anggaran pengembangan sebesar Rp 131 miliar tersebut tidak berfungsi efektif. “SIMKARI masih belum dapat memenuhi kebutuhan publik atas informasi penanganan kasus korupsi lembaga ini,” tukas Wana.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto mengakui bahwa Kejaksaan mengalami kekurangan sumber daya manusia untuk mengelola SIMKARI. “Nanti saya cek dulu, sebenarnya kekurangan SDM bukan hanya di SIMKARI. Di daerah, SDM pengawai tahanan dan lainnya juga masih kurang.”
Menurut Amir, Kejaksaan Agung kerap kali meminta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk menambah pasokan SDM. Namun lagi-lagi hal ini terpulang pada kebijakan anggaran.
“Saat ini ada 8000 jaksa serta pegawai tata usaha yang jumlahnya sekitar dua kali lipat dan jumlah jaksa. Jumlah itu memang perlu ditambah,” tegasnya. (Ayu-Kes)