Saldi Isra: Penetapan Patrialis “Cacat Prosedural”
Minggu lalu, ICW dan YLBHI menghadirkan ahli Profesor Saldi Isra dan saksi Wahyudi Djafar pada sidang gugatan Keputusan Presiden tentang penetapan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Rabu lalu (13/11). Saldi menyatakan penetapan Patrialis “cacat prosedural” dan Presiden SBY “inkonsisten dalam bersikap soal hakim MK.”
“Presiden inkonsisten,” tutur Profesor Saldi Isra, kala memberikan keterangan ahli dalam sidang gugatan
Saldi termasuk yang mengkritik keterpilihan Hamdan Zoelva, Patrialis Akbar, dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi, karena penetapan mereka menyimpangi ketentuan UU. “Ini tidak memenuhi apa yang disyaratkan undang-undang,” tegas Saldi.
“Presiden pernah melakukan seleksi hakim MK sesuai amanat undang-undang. Tapi, presiden lalu menyimpang dari yang seharusnya.” ujar Saldi, merujuk Pasal 19 Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan “pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif”.
Pada seleksi calon hakim konstitusi tahun 2008, Saldi menyatakan prosesnya sangat terbuka dan banyak partisipasi masyarakat. “Itulah cara yang benar, yang mengakomodasi prinsip-prinsip transparansi dan partisipatif Pasal 19 UU MK.”
Saat itu, Saldi didaulat menjadi anggota panitia seleksi hakim Mahkamah Konstitusi. Diketuai anggota Dewan Pertimbangan Presiden saat itu, Dr. Adnan Buyung Nasution, dibentuklah panitia seleksi yang melibatkan banyak ahli seperti Profesor Franz Magnis Suseno dan mantan hakim konstitusi.
“Sayangnya ini hanya terjadi sekali. Sekarang presiden mengubah sikapnya. Tidak lagi proses terbuka, tapi hanya menunjuk.” Menurut Saldi, penunjukan ini tidak memenuhi pasal 19 Undang-undang MK tentang pencalonan hakim konstitusi dan kemudian disebut Saldi sebagai “cacat prosedural”.
“Kewajiban undang-undang MK tidak dipenuhi. Padahal undang-undang tidak memberikan pilihan pada presiden, DPR, dan MA selain melaksanakan amanatnya.” Saldi menekankan, “Presiden, DPR, dan MA terikat proses transparan dan partisipatif.”
Sementara itu, Wahyudi Djafar, peneliti yang kini mengabdi di ELSAM, dihadirkan sebagai saksi oleh ICW dan YLBHI. Ia mengungkap pengalamannya kala bertugas sebagai anggota tim pelacak rekam jejak hakim konstitusi tahun 2008 lalu.
“Kami membentuk Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi yang berisi sembilan organisasi, diantaranya LBH Jakarta, YLBHI, dan Indonesia Legal Roundtable,” ujar aktivis yang dulu aktif di Konsorsium Reformasi Hukum Nasional ini.
Aliansi dilibatkan melacak rekam jejak para calon hakim mulai dari seleksi administrasi hingga panel ahli. Setelah para calon tersaring dari seleksi administrasi, aliansi memberi masukan terhadap 14 calon hakim yang akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). “Pansel membuat semacam ‘pencarian bakat’ untuk hakim konstitusi,” ujar Wahyudi.
“Seleksi dilakukan setransparan mungkin. Ada proses terus menerus antara pansel dengan masyarakat sipil,” ujar Wahyudi.
Walau prosesnya terhitung singkat, yakni Juli hingga Agustus 2008, namun Wahyudi mengakui panitia seleksi sangat terbantu oleh masyarakat sipil. “Karena kami mengumpulkan banyak data rekam jejak calon,” kata Wahyudi.
Walau demikian, Wahyudi menyatakan bahwa yang terpilih sebagai hakim konstitusi adalah “yang terbaik daripada yang terburuk”. “Masih ada catatan buruk,” akunya.
Momentum perbaikan kesalahan
Sebagai ahli hukum tata negara, Saldi Isra berpendapat UUD 1945 memberikan terminologi yang berbeda-beda untuk pengisian pejabat negara. Maka, aturannya pun berbeda-beda. Termasuk pemilihan hakim konstitusi yang punya aturan main tersendiri.
“UUD 1945 Pasal 24 c ayat 3 menyatakan: ‘hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Jadi, bahasa konstitusi untuk pengisian hakim konstitusi itu diajukan,” Saldi menekankan.
“Dalam pengertian bahasa sederhana, harusnya calonnya sudah ada, dan ketiga pihak ini tinggal mengajukan. Itulah kemudian yang menjadi proses pengisian hakim konstitusi,” tukas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.
Penetapan hakim MK juga dirancang agar pihak-pihak di luar ketiga lembaga negara yang berwenang mengajukan calon (presiden, Mahkamah Agung, dan DPR) dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan hakim konstitusi. Menurut Saldi, secara implisit, kata ‘mengajukan’, tidak mandiri menjadi otoritas lembaga yang mengusulkan atau mengajukan. “Karena ini menyangkut hakim,” ujarnya.
“Maka otoritas didesain transparan dan partisipatif. Apalagi, hanya pengisian jabatan hakim konstitusi lah satu-satunya yang mensyaratkan ‘harus seorang negarawan’,” jelas Saldi. Sehingga menurutnya, jadi tidak logis jika syarat ‘negarawan’ dimonopoli satu institusi yang berhak menentukan apakah seorang calon adalah negarawan atau tidak.
“Itulah sebabnya pasal 24 c mengatakan harus ada proses partisipatif dan melibatkan masyarakat,” tutur Saldi. Lewat partisipasi masyarakat, kenegarawanan ini bisa dilihat. “Kalau prosesnya tidak transparan, bagaimana masyarakat mau berpartisipasi?”
Istilah ‘partisipasi masyarakat’ dalam syarat penetapan hakim konstitusi memang beralasan. Saldi menuturkan, “Ini tidak bisa dilepaskan dari konstruksi konstitusi kita yang menganut kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat dilibatkan dalam proses pengisian pejabat-pejabat publik.”
“Partisipasi itu adalah ruang bagi orang-orang di luar otoritas. Apabila pemerintah melakukan secara obyektif dari sisi internal pemerintah, itu dari sisi pemerintah saja. Baru dikatakan partisipatif, jika melibatkan orang di luar pemerintah. (Penetapan Patrialis—red) tidak partisipatif dalam konsep teori partisipasi publik,” ujar Saldi.
Undang-undang Mahkamah Konstitusi, menurut Saldi, telah merangkum ketentuan penetapan hakim konstitusi dengan cukup baik. Pasal 19 Undang-undang MK menyebutkan pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Penjelasan pasal 19 menyatakan calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa cetak dan elektronik sehingga masyarakat punya kesempatan untuk memberi masukan. “Inilah prinsip dasarnya,” terang Saldi, “seharusnya, ketiga lembaga itu melakukan proses transparan dan partisipatif,” rujuknya pada presiden, Mahkamah Agung, dan DPR.
Walaupun penjelasan bukan norma hukum, namun Saldi meyakini penjelasan pasal 19 membantu memberi arahan. “Ia menjadi tafsir otentik tentang apa yang disebut transparan dan partisipatif , yaitu publik bisa memberi pendapat dan usul.”
Tetapi, Saldi tetap optimis. Menurutnya, proses persidangan ini menjadi peringatan untuk semua pemangku kepentingan bahwa ada yang salah selama ini.
“Saya mau bersaksi sebagai ahli di sini, karena ini menjadi ruang bagi saya sebagai akademisi bahwa kesalahan harus dikoreksi. Ini waktu yang baik bagi kita untuk memperbaiki.”
Saldi menuturkan hampir semua pengisian pejabat publik seperti KPU, Bawaslu, dan komisi-komisi lain dilakukan secara terbuka. “Masa hakim, yang satu-satunya memegang otoritas wakil Tuhan di muka bumi, proses pengisiannya secara tertutup?”