Sakti 2015, Dorong Lahirnya Jiwa Pemberontak pada Korupsi
Sentul, antikorupsi.org - Sekolah antikorupsi (Sakti) menjadi bentuk ikhtiar dalam pembentukan jiwa-jiwa aktivis antikorupsi kepada generasi muda bangsa. Hal ini untuk mendorong terwujudnya Indonesia bebas korupsi dan tidak hanya menjadi impian semata.
Kegiatan Sakti yang diselenggarakan 4 hingga 14 Agustus 2015 di kawasan Sentul ini diikuti oleh 24 anak muda dari berbagai daerah seperti Makassar, Lampung, Yogyakarta, Padang, dan Surabaya. Mereka dibekali banyak pengetahuan yang memadai terkait dengan dunia korupsi dan gerakan sosial. Misalnya filsafat dan berbagai perspektif teoritis tentang korupsi yang dibawakan oleh akademisi Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung atau etika aktivis antikorupsi yang dipaparkan oleh Romo Magnis Suseno.
Salah satu komite Sakti Jimmy Ph. Paat mengatakan masifnya korupsi yang terjadi mengakibatkan negara semakin memburuk. Hal Ini diperparah dengan keadaan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami bahaya korupsi itu sendiri. Oleh karena itu, Sakti menjadi salah satu cara yang menarik dan baik dalam melahirkan komunitas antikorupsi yang akan tumbuh di berbagai belahan daerah di Indonesia.
Dibanding Sakti sebelumnya, perbaikan materi terlihat dalam bentuk mata pelajaran dan narasumber yang lebih variatif serta berbobot. Ada kurang lebih dua puluh lima ‘mata pelajaran’ yang berhubungan dengan perspektif korupsi dan gerakan antikorupsi diberikan kepada peserta. Tentu saja hal ini sebagai penunjang bagi peserta Sakti dalam mengimplementasikan gerakan antikirorupsi yang lebih cerdik dan smart.
Berkaca pada pengalaman materi Sakti pertama, kali ini fasilitator lebih memadatkan jadwal kegiatan belajar mengajar dengan metode sambil diselipkan kegiatan outbound di Taman Safari, Ciawi.
Semua materi dan pelajaran yang diberikan diharapkan dapat menjadi tools saat peserta terjun ke lapangan dalam mendorong gerakan antikorupsi. Perspektif ini dimunculkan para pemateri sebagai bentuk ‘kemarahan’ yang ditransformasikan dalam bentuk ilmu pengetahuan.
Indikator keberhasilan sekolah ini hanya dapat dilihat setelah masing-masing dari mereka terjun ke lapangan dalam gerakan pemberantasan korupsi. Namun tentu saja ‘kemarahan’ ini ditransformasikan melalui Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang disampaikan setiap peserta Sakti. Jika diperhatikan, ada terobosan-terobosan yang tampaknya tidak mudah dilaksanakan oleh kelompok-kelompok kecil alumni Sakti ini. Namun berbekal semangat dan yang dimiliki mereka tampak optimis melaksanakan rencana besar pasca Sakti ini sebagai bentuk tanggung jawab generasi bangsa.
Maka yang terpenting ialah ‘kemarahan’ yang saat ini dimiliki dalam diri peserta Sakti harus diiringi keberanian dalam mendobrak ketidakadilan sebagai akar dari korupsi yang telah mendarah daging di Indonesia.
‘Kemarahan’ terhadap ketidakadilan ditunjukkan oleh para peserta Sakti. Diantaranya, Alek Mahasiswa Univeristas Andalas, Fakultas Hukum, 20 tahun, menyatakan, berkaca dalam situasi saat ini, diperlukan kreativitas dalam melawan korupsi, karena saat ini perkembangan modus korupsi sudah sangat berkembang pesat. Pengalaman-pengalaman dan perspektif yang dibangun di Sakti menjadi modal awal dalam membangun gerakan antikorupsi di daerah-daerah. Transformasi semangat dan pengalaman berjejaring juga didapatkan dalam Sakti.
Dalam menerapkan pelajaran yang didapatkan dari Sakti, dirinya akan berfokus pada gerakan keterbukaan informasi tata kelola keuangan kampus. Ilmu tentang perspektif korupsi dan gerakan antikorupsi menjadi modal awal dirinya untuk membangun jejaring dengan teman seperjuangan di kampus agar jeli melihat permasalahan keterbukaan informasi keuangan di kampus.
Tanggung jawab moral lainnya juga tergambar dari keinginannya yang akan melakukan ‘bersih-bersih’ Kota Padang, Sumatera Barat dari pungutan liar yang masih mewabah. Membuka jaringan dan membangun perspektif bahwa pungutan haruslah diberantas akan menjadi pekerjaan rumah yang harus dilakukan selepas Sakti.
Sementara bagi itu bagi Hening, 24 tahun, yang alumnus FISIP UGM, mendapatkan pengalaman, pelajaran dan ilmu baru tentang antikorupsi yang tidak pernah didapat dari kampus menjadi hal menarik baginya.
Dirinya menuturkan, secara teori hampir semua pengetahuan tentang korupsi didapatkan dalam Sakti 2015. Kemudian juga berkesempatan bertemu dengan generasi muda lain dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang bervariasi menjadi amunisi tambahan atas perspektif korupsi dan gerakan antikorupsi kelak. Ternyata korupsi bukan hanya menjadi kejahatan pidana melainkan kejahatan moral yang tumbuh di berbagai sektor.
Pendidikan gerakan masyarakat antikorupsi serta belajar ‘membaca’ anggaran menjadi materi favorit yang disajikan panitia. Hal tersebut menjadi modal awal untuk diterapkan dalam aktivitas pekerjaannya. Karena aktivitasnya saat ini masih bersentuhan dengan kampus, yakni sebagai alumni UGM dan kebetulan aktif di Research Centre for Politics and Government (Polgov) UGM membawa isu antikorupsi dikalangan mahasiswa UGM menjadi harapan besarnya agar mahasiswa tidak lagi menjadi apatis akan isu antikorupsi.
Membangun basis di kampus menjadi tekad dirinya agar semakin masifnya gerakan antikorupsi yang dilakukan mahasiswa baik berupa penelitian dan riset akademis yang bisa dipakai untuk perbaikan Indonesia sehingga bebas dari korupsi. (Ayu-Abid)