Sahkan UU Tipikor; Jangan Lemahkan Peran KPK dan Tipikor
Para pemuka enam agama di Indonesia mendesak DPR segera menyetujui Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi untuk disahkan. Namun, RUU itu harus semakin memperkuat lembaga pemberantasan korupsi dan menjadikan lembaga yang ada lebih progresif.
Tuntutan tersebut disampaikan para tokoh agama di Jakarta, Selasa (21/10). Mereka juga mendesak DPR tidak menjadikan RUU ini sebagai alat tawar politik atau politik dagang sapi menjelang Pemilu 2009.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Salatiga sekaligus Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Salatiga KH Saifudin Zuhri mengatakan, RUU Pengadilan Tipikor harus diselesaikan pada periode DPR 2004-2009. Semakin diulur waktu penyelesaiannya akan membuat RUU ini menjadi alat politik dan pemberantasan korupsi Indonesia semakin tidak menentu.
Hukum agama, termasuk fatwa NU yang mengharamkan menshalatkan pelaku korupsi, tidak akan efektif memberantas korupsi karena tidak memiliki ikatan hukum. Agama hanya memberikan panduan moral dan menyadarkan masyarakat. Karena itu, mekanisme pemberantasan korupsi harus diatur secara tegas dan ketat melalui UU.
Jangan dilemahkan
Ketua Sinode Gereja Kristen Indonesia Albertus Patty menyayangkan munculnya sejumlah wacana di DPR yang justru akan melemahkan peran Pengadilan Tipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pembahasan RUU. Karena itu, para agamawan mendesak agar RUU ini menetapkan jumlah hakim ad hoc atau nonkarier dalam majelis hakim di Pengadilan Tipikor harus lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hakim karier.
Pantauan terhadap putusan perkara korupsi pengadilan negeri beberapa tahun terakhir menunjukkan banyak koruptor yang dibebaskan. Hal itu membuat penanganan korupsi di pengadilan umum oleh hakim karier belum dapat dipercaya. Sedangkan para koruptor yang ditangani hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor selalu mendapatkan sanksi hukuman.
”Persoalan korupsi di Indonesia bukan hanya pada substansi korupsinya, tetapi juga tak dipercayanya lembaga penegak hukum yang ada, mulai dari kepolisian hingga pengadilan,” katanya.
Pemimpin Pondok Pesantren Mahasiswa An Nur, Surabaya, KH Imam Ghazali Said menambahkan, rencana pembentukan Pengadilan Tipikor di setiap pengadilan negeri justru akan melemahkan Pengadilan Tipikor. Selain hakimnya belum bisa dipercaya, penanganan perkara korupsi oleh pengadilan negeri juga akan menjadikan perkara korupsi sama statusnya dengan perkara pidana umum.
”Kasus korupsi seharusnya ditangani secara luar biasa karena dampak dan penyebarannya juga luar biasa,” katanya. (MZW)
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2008