RUU Rahasia Negara; Pemerintah Diyakini Berniat Kembalikan Rezim Otoriter
Pemerintah diyakini memang berniat mengembalikan rezim pemerintahan serba otoriter, yang serba berupaya merahasiakan banyak hal dari warga negaranya.
Hal itu sangat terasa dan tampak dari ruang lingkup dan cakupan rahasia negara seperti diatur dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) bentukan Departemen Pertahanan saat ini, yang sangat luas dan mencoba menutup banyak hal sehingga menjadi serba tidak transparan.
Pernyataan itu disampaikan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, Rabu (5/8), seusai berbicara dalam diskusi ”Mengatur Rahasia Negara dalam Rezim Demokratis”, yang digelar Institut Studi Arus Informasi.
Turut hadir sejumlah pembicara anggota Komisi I dari Fraksi Partai Amanat Nasional Dedi Djamaluddin Malik, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, dan Mufti Makkarim dari Institute for Defense Security and Peace Studies.
”Kalau memang benar pemerintah dan DPR mau mengesahkan RUU RN, saya sarankan uji dahulu dengan tiga parameter. Apakah sudah memenuhi konstitusional demokratis, bisa tetap menjamin hak masyarakat atas akses dan distribusi informasi, dan apakah rezim RN menjamin mekanisme dan prosedur jelas dalam mengelola rahasia negara?” tegas Andi.
Andi lebih lanjut mengaku tidak yakin pemerintah dan legislatif mampu memenuhi ketiga parameter tadi, terutama jika RUU RN yang diproses masih seperti yang sekarang ada. Namun, jika ketiga parameter tadi bisa terpenuhi, Andi mempersilakan saja jika RUU RN itu mau disahkan kemudian.
Menurut Andi, kepastian tentang aturan perundang-undangan tentang rahasia negara tetap diperlukan. Hal itu mengingat selama ini di Indonesia justru terjadi yang namanya rezim Arcana Imperii atau negara yang penuh dengan kemisteriusan atau negara yang serba misterius.
Sementara dalam diskusi, Dedi Djamaluddin Malik meminta tidak perlu ada lagi perdebatan soal perlu tidaknya aturan RUU RN. Sekarang yang harus diupayakan adalah bagaimana RUU RN tidak ada lagi mengandung aturan-aturan yang multitafsir dan tumpang tindih, apalagi masih terdapat cakupan masalah yang terlalu luas dan melebar.
”Juga harus dipastikan aturan perundang-undangan tidak memungkinkan pemerintah dan pengelola rahasia negara dapat melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abused of power) dan pihak-pihak yang punya tujuan baik, seperti para whistle blower dalam kasus seperti korupsi bisa terlindungi walau ada rahasia negara yang dibocorkan,” ungkap Dedi. (DWA)
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2009