RUU Pencucian Uang; Setelah Mengendap, DPR Kembali Bahas

Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang mengendap hampir tiga tahun, kembali dibahas DPR bersama pemerintah.

Rapat Panitia Khusus berlangsung di Komisi III DPR, Senin (4/5), dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR Maiyasyak Johan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP). Rapat dihadiri 26 dari 51 anggota Komisi III. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein.

RUU Pencucian Uang itu diajukan pemerintah untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang masih memiliki banyak kelemahan.

Menurut Andi, pemerintah sudah mengajukan naskah RUU itu ke DPR sejak 10 Oktober 2006. Kemudian, ditindaklanjuti dengan penyampaian keterangan pemerintah pada 27 Juli 2007. Namun, selama tiga tahun mengendap. Andi optimistis, RUU ini dapat segera diselesaikan karena banyak kesamaan pandangan dengan DPR.

”Walau jumlah daftar inventarisasi masalah (DIM)-nya 437, tetapi hampir sebagian besar menunjukkan titik-titik kesamaan,” ujarnya.

Menurut Maiyasyak, dari 437 DIM, sebanyak 281 materi sudah memiliki kesamaan dengan pandangan fraksi-fraksi di DPR. Adapun substansi yang berbeda ada 99, perbedaan redaksional 30, perlu penjelasan 8, dan perlu rumusan baru 19.

Senin, rapat mengesahkan pembentukan Panitia Kerja yang beranggotakan 25 orang, antara lain Aulia Rachman (Fraksi Partai Golkar), Gayus Lumbuun (F-PDIP), Lukman Hakim Saifuddin (F-PPP), Dasrul Djabar (F-PD), Nursyahbani Katjasungkana (F-KB), Nasir Zamil (F-PKS).

Materi krusial
Ada sejumlah materi krusial dalam pembahasan RUU ini. Fraksi mengusulkan, antara lain, agar RUU ini fokus pada pemberantasan pencucian uang. Ada juga fraksi yang keberatan dengan kewenangan PPATK melakukan penyadapan.

Andi menegaskan, pencegahan diperlukan selain pemberantasan. ”Jika tindak pidana keuangan sudah terjadi, recovery-nya tidak sampai 10 persen.” ujarnya.

Yunus menyatakan, penyadapan sangat diperlukan. Bila kewenangan itu tidak diberikan, PPATK harus bisa meminta informasi kepada penyedia jasa telekomunikasi atau penegak hukum lain.

”Untuk melakukan analisis jaringan itu perlu melihat komunikasi. Misalnya di bursa, jika orang menggoreng-goreng saham, memanipulasi pasar, lihat uangnya bisa. Tetapi, kalau kita tidak tahu siapa yang mengatur transaksi, sulit membuktikannya,” katanya lagi. (sut)

Sumber: Kompas, 5 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan