RUU Pencucian Uang Dikebiri
"Ini jelas pelemahan secara sistematis."
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan ada usaha dari sejumlah politikus di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengamputasi upaya memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi guna turut menyidik pidana pencucian uang. Tindakan itu dilakukan dengan menghilangkan satu ayat di Pasal 70 dalam Rancangan Undang-Undang Pidana Pencucian yang kini dibahas di Tim Perumus DPR.
Bunyi pasal tersebut adalah, "Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lainnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyerahkan hasil pemeriksaan dimaksud kepada penyidik tindak pidana asal untuk dilakukan penyidikan." Pasal ini memungkinkan KPK menyidik pidana pencucian yang berkaitan dengan kasus korupsi.
Indonesia Corruption Watch, salah satu anggota Koalisi, menganggap manuver para politikus Senayan itu merupakan usaha mempertahankan status quo. Caranya dengan hanya memberikan wewenang kepada Polri dan Kejaksaan guna mendapatkan dan menindaklanjuti laporan hasil analisis PPATK. "Ini jelas upaya pelemahan secara sistematis," ujar peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Donal Fariz, kemarin.
Menurut ICW, upaya amputasi itu terjadi dalam rapat kerja Tim Perumus yang dilaksanakan pada 20-22 Agustus lalu di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat. Para legislator beralasan, penguatan PPATK dan KPK dalam hal pencucian uang akan membuat investor takut menempatkan uangnya di bank-bank lokal.
Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari Golkar, Harry Azhar Azis, mengatakan fraksinya menginginkan agar kewenangan untuk mendapatkan laporan analisis PPATK dikembalikan ke Kejaksaan dan Kepolisian. Ia beralasan, persoalan yang tengah menimpa Kejaksaan dan Kepolisian tidak semestinya dijadikan alat untuk melimpahkan kewenangan itu ke KPK. "Kalau tetap diberikan ke KPK, masyarakat akan semakin tidak percaya kepada dua institusi itu."
Politikus Golkar lainnya, Bambang Soesatyo, bahkan mencurigai PPATK selama ini telah menjadi alat penguasa dan partai berkuasa untuk menggebuk lawan-lawan politiknya. "Kami tidak ingin PPATK menjadi alat peras baru," katanya. "Kami juga menduga PPATK memiliki agenda kepentingan asing agar para pemilik modal tidak nyaman, lalu memindahkan uangnya ke bank-bank asing."
Kepala PPATK Yunus Husein sebelumnya menyatakan ada pihak yang khawatir jika kewenangan PPATK diperluas. "Mau jadi penyelidik saja banyak yang keberatan," ujarnya.
Yunus menjelaskan, pembahasan RUU ini terganjal pada bagian mengenai pemberian kewenangan kepada KPK. "Ada upaya membatalkan kesepakatan sebelumnya, yakni bahwa KPK boleh menyidik tindak pidana pencucian uang."
Padahal, akhir Juli lalu, Panitia Kerja DPR telah menyepakati bahwa enam lembaga dimungkinkan menyidik tindak pidana pencucian uang. Laporan hasil analisis PPATK juga boleh diberikan kepada Kepolisian, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional, dan KPK. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak boleh melakukan penyidikan atas inisiatif sendiri. Namun keduanya tak diberi akses ke laporan hasil analisis PPATK. AMIRULLAH | RIRIN AGUSTIA | FAMEGA | SANDY INDRA
Sumber: Koran Tempo, 25 Agustus 2010