RUU MA Beraroma "Tak Sedap"
Presiden Harus Tolak Perpanjangan Usia Pensiun
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, yang dibahas terburu-buru, kian menguatkan aroma ”tak sedap” yang melingkupi RUU itu, apalagi setelah mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun.
Penilaian itu diutarakan mantan Hakim Agung Bismar Siregar dan Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Denny Kailimang di Jakarta, secara terpisah, Senin (22/9). ”Sebelumnya beredar layanan pesan singkat (SMS) isu tak sedap terkait RUU MA itu, termasuk soal usia pensiun hakim agung. Begitu Panitia Kerja (Panja) DPR menyetujui usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun, isu itu seperti dibenarkan,” papar Denny.
Sebelumnya, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR T Gayus Lumbuun mengaku mendengar isu adanya politik uang, terkait usulan perpanjangan usia hakim agung dalam pembahasan RUU MA. Karena itu, ia memilih mundur dari Panja agar bisa mengkritisi RUU itu. Dari 10 fraksi di DPR, hanya F-PDIP yang menolak perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun (Kompas, 18-22/9).
Bismar dan Denny sepakat, bisa saja usia pensiun hakim agung diperpanjang menjadi 70 tahun, bukan lagi 67 tahun seperti yang berlaku saat ini. Namun, saatnya bukan sekarang. ”Saatnya tidak tepat. Kalau 10 tahun lagi, mungkin dapat diterima,” kata Bismar.
Bismar mengakui, usia pensiun hakim agung 65 tahun sudah cukup. Ini untuk memacu regenerasi hakim agung. ”Tidak perlu diperpanjang menjadi 67 tahun, apalagi 70 tahun, sebab yang sekarang ini tak berprestasi. Kalau berprestasi, kenapa perkara masih saja menumpuk,” katanya.
Denny menambahkan, sosialisasi RUU MA belum dilakukan. ”Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) belum pernah disosialisasi. Janganlah terburu-buru dan tertutup membahas RUU itu, karena isu di luar menjadi terasa kebenarannya,” ujarnya.
Secara terpisah, Senin, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, fraksinya juga menolak perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. ”Kami menyetujui usulan Badan Legislasi DPR, usia pensiun hakim agung adalah 65 tahun. Usulan itu tentu diperhitungkan masak-masak,” katanya.
Jika terpaksa, lanjut Lukman, F-PPP akan menyetujui gagasan usia pensiun hakim agung 67 tahun seperti diusulkan F-PDIP, sama dengan usia pensiun hakim Mahkamah Konstitusi. ”Kami belum bisa menerima gagasan usia pensiun hakim agung 70 tahun. Itu terlalu tua dan akan menghambat regenerasi,” katanya.
Sebaliknya, Ketua Fraksi Partai Golkar (F-PG) DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Senin, menyesalkan sinyalemen kesepakatan usia pensiun hakim agung 70 tahun dipengaruhi politik uang. Sinyalemen seperti itu membuat ketidaknyamanan lembaga. Sinyalemen itu juga berlebihan karena faktanya 9 dari 10 fraksi DPR sepakat dengan rumusan yang diajukan pemerintah itu.
Jika memang ada pihak yang mengetahui adanya praktik politik uang dalam proses pembahasan, lebih baik datanya diungkap. Tanpa data kuat, sinyalemen semacam itu hanya membuat kinerja DPR semakin tidak sehat.
Presiden batalkan saja
Secara terpisah, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki di Jakarta, Senin, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak perpanjangan usia pensiun hakim menjadi 70 tahun. ”Jika Presiden Yudhoyono berkomitmen sungguh-sungguh dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, ia harus menolak perpanjangan usia pensiun hakim agung,” ujarnya.
Menurut Teten, perpanjangan usia pensiun hakim agung tidak sejalan dengan komitmen pemerintah untuk percepatan pemberantasan korupsi secara nasional. ”Di tengah-tengah kinerja pengadilan yang tengah ambruk, sebagaimana disampaikan survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun ini, yang menyebutkan peradilan Indonesia sebagai peradilan terkorup di Asia, perpanjangan usia pensiun hakim agung jelas suatu kemunduran komitmen dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Dengan reputasi pengadilan Indonesia yang dinilai paling buruk di antara 10 negara Asia, kata Teten, hakim yang kinerjanya buruk dan memperburuk citra peradilannya seharusnya jangan diberi ”penghargaan” diperpanjang usia pensiunnya.
Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, seperti disampaikan Direktur Pukat Zainal Arifin Mochtar, minta pembahasan RUU MA dihentikan karena dilakukan tertutup, terburu-buru, dan tak melibatkan publik. (VIN/NWO/WER/DIK/HAR/TRA)
Sumber: Kompas, 23 September 2008