RUU KUHAP Belum Bisa Diterapkan di Indonesia
Dalam kondisi negara “normal”, Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) cocok diterapkan. Namun di negeri yang masih berjuang memberantas korupsi, RUU KUHAP mengancam upaya ini.
Ganjar Laksmana, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia meyakini bahwa RUU KUHAP bertujuan untuk memperbaiki sistem hukum acara secara umum.
“Masalahnya, ada poin-poin khusus berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi. Secara keseluruhan, baik kejaksaan, kepolisian, dan KPK, akan lemah. Tapi dalam situasi sekarang, potensi pelemahan ini ditujukan pada KPK,” tutur Ganjar dalam konferensi pers di ICW, Kamis (6/2).
Ganjar juga melihat ada poin-poin dalam RUU KUHAP yang akan membuat hukum acara jadi tidak logis, terutama soal penghapusan penyelidikan dari RUU KUHAP.
“Pas negara ini punya semangat pemberantasan korupsi, dan KPK punya tingkat penghukuman 100%, tiba-tiba ada RUU KUHAP. Dengan senjata yang sudah ada sekarang, kita bisa membunuh musuh. Sekarang senjata ini mau diganti padahal (senjata baru) banyak kelemahannya. Lho, sementara ini berhasil, kok malah diubah?” tanya Ganjar heran.
Ganjar juga mempertanyakan mengapa DPR sangat bersemangat membahas RUU KUHAP. Seharusnya, RUU KUHP dahululah yang dibahas. “Mengapa mendahulukan yang lebih mudah?”
“Yang bahas RUU KUHAP ‘kan korban terbesar pemberantasan korupsi. RUU ini dibahas di lembaga yang paling menjadi korban pemberantasan korupsi,” jelas Ganjar ketika memperkirakan kepentingan politik para pembahas RUU ini.
Sementara itu, pengamat kepolisian dan akademisi Bambang Widodo Umar mengakui ada dilema dalam RUU KUHAP. Menurutnya, dalam kondisi negara yang baik dengan aparat penegak hukum yang bersih, RUU KUHAP bisa diterapkan.
Bambang menyarankan pemerintah dan DPR melihat dahulu kondisi proses hukum di Indonesia sebelum menyusun RUU KUHAP. “Sudah baik atau tidak?” tanya Bambang.
“Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), kita perlu KUHAP. Tapi, kita juga harus melihat pidana umum umum dan pidana khusus dalam konteks korupsi ini numpuk, malah berkembang, ” akunya.
Nandang Herawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengakui bahwa di awal, YLBHI mendorong RUU ini disahkan. Namun, pada perjalanannya, setelah melihat ngawurnya substansi dan prosedur pembahasan RUU KUHAP, YLBHI memutuskan tak setuju RUU ini disahkan.
“RUU ini harus ditarik dulu dan disempurnakan. Setidaknya kita mengusahakan agar semua kepentingan diakomodir. RUU KUHAP ini bukan hanya persoalan korupsi saja, tapi isu-isu lain yang perlu diakomodir aspirasinya oleh anggota DPR,” tutur Nandang.
YLBHI, ungkap Nandang, juga mempermasalahkan beragam kewenangan KPK yang dipangkas dalam RUU KUHAP, tetapi tidak pernah melibatkan KPK sebagai pihak yang dipangkas wewenangnya dalam pembahasan.
Proses pembahasan RUU KUHAP juga terlihat diam-diam. Panitia kerja (panja) RUU KUHAP selalu membaha pada malam hari dengan anggota panja yang hadir kurang dari setengah.
Selain itu, pelibatan Bareskrim Mabes Polri dalam pembuatan RUU ini juga patut dipertanyakan.
“Ini juga ada kepentingan, ngapain Bareskrim Mabes Polri dateng-dateng ke pembahasan RUU KUHAP? Dan memang juga di pembahasan ini, anggota panja ini juga ada konflik kepentingan, karena memang sangat bersentuhan dengan isu-isu korupsi,” tukas Nandang.