RUU KPK Penuh Muatan Politis
Jakarta, antikorupsi.org (18/11/2015) – Wacana untuk melakukan revisi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali muncul. Kali ini DPR lewat Ketua DPR Setya Novanto mendesak agar RUU KPK masuk kembali ke prolegnas 2016. Runtutan proses demi proses dalam upaya mengkebiri KPK dan agenda pemberantasan korupsi jelas menandakan bahwa upaya pelemahan ini penuh dengan muatan politis.
Hal tersebut dikatakan oleh Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani. Menurutnya, proses upaya pengkebirian KPK dan agenda pemberantasan korupsi mirip sekali dengan kasus cicak vs buaya jilid I, II, sampai ke III terakhir. Dimulai dari upaya mengkriminalisasikan penyidik KPK, pemimpin KPK, penggiat antikoupsi sampai pada mematikan KPK lewat legislasi.
“RUU KPK masuk ke prolegnas jelas pertimbangannya sangat politis. Niat utamanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengkebiri KPK dan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia,” papar Julius saat dihubungi antikorupsi.org, Rabu (18/11/2015).
Julius menjelaskan, jika diperhatikan tidak ada penyebab yang fatal dalam kinerja KPK, substansi perundang-undangan, tindak pidana korupsi dan pemberantasannya sehingga harus merevisi UU KPK. “Ini gak ada, kok tiba-tiba direvisi? Artinya tidak ada satu substansi pun, baik normatif perundang-undangannya serta hasil kerja KPK yang mendasari didorongnya RUU KPK masuk ke prolegnas 2016,” ujarnya.
Di sisi lain, masih ada undang-undang seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sejak 1960 belum ada perubahan sedikitpun. Dalam hal ini aturan KUHAP dan KUHP yang sangat usang belum diperbarui. Jelas, regulasi ini seharusnya sudah direvisi melihat urgensi dalam penegakan hukum.
Bukan hanya terkait regulasi, seharusnya pembenahan akan sistem dan mekanisme penegakan hukum juga dilakukan kepada lembaga penegak hukum lainnya. Seperti kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA). Jelas, aparat penegak hukum (aph) pernah melakukan tindak pidana dan temuannya bersifat faktual, mulai dari kebobrokan lembaganya, perilaku koruptif individualnya, sampai pada kasus koruptifnya.
“Kenapa tidak tiga lembaga itu yang direvisi, padahal jelas hal tersebut lebih urgen, karena aph bukan hanya KPK saja,” jelas Julius.
Dia menegaskan, ambil contoh Mahkamah Konsitusi (MK) yang diketahui bahwa mantan ketua MK pernah menjadi terpidana korupsi. Hal tersebut seharusnya dapat membuka mata DPR dan pemerintah, bukan UU KPK yang direvisi melainkan UU aph keseluruhan yang bermasalah.
Sekedar diketahui, dari darft revisi UU KPK yang beredar pelemahan dilakukan mulai dari memangkas kewenangan penyadapan, membatasi proses penyelidikan sampai dihapusnya prosedur operasi tangkap tangan (ott).
“Itu semua keunggulan KPK dalam mencari alat bukti. Kalau sampai UU KPK direvisi, kemudian KPK serta pemberantasan korupsi dikebiri, maka Indonesia akan kembali pada jaman orde baru atau bahkan lebih parah lagi,” tegas Julius. (Ayu-Abid)