Rutan Khusus Koruptor Menuai Kritik
Pelaku Korupsi Tak Layak Diistimewakan
Peresmian rumah tahanan (rutan) kelas 1 khusus tindak pidana korupsi (tipikor) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta, menuai kritik. Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menganggap keberadaan rutan khusus tersebut tidak tepat sasaran. Sebab, kejahatan korupsi tidak berbeda dengan kejahatan lain.
''Itu hanya beda kualifikasi. Satu membunuh, satu korupsi, mencopet, mencuri. Tapi, sama saja, maling juga semua itu. Mengapa harus diistimewakan?'' kata Akil di gedung MK, Jakarta, kemarin (28/4).
Menurut Akil, kejahatan korupsi lebih kejam daripada kejahatan lain. Korbannya kolektif dan masif. Berbeda dengan kejahatan umum yang hanya membawa korban segelintir orang.
Karena itu, menurut dia, tidak layak para tahanan koruptor diberi tempat spesial. ''Dalam konteks sosial, mereka kan sesungguhnya musuh masyarakat secara keseluruhan. Koruptor itu korbannya semua orang. Duit juga dimakan sama dia,'' ujarnya.
Kementerian Hukum dan HAM meresmikan rutan khusus tahanan tipikor di Lapas Cipinang Selasa lalu (27/4). Bangunan tersebut terdiri atas tiga lantai. Lantai satu memiliki 16 kamar yang dihuni seorang tahanan per kamar. Tetapi, kamar di lantai itu dikhususkan tahanan yang sakit atau lanjut usia (lansia).
Lantai dua dan tiga terdiri atas 12 kamar. Setiap kamar diperuntukkan lima tahanan. Ukuran kamarnya cukup lapang. Yakni, 7 x 5 meter di lantai dua dan tiga. Kamar di lantai satu berukuran 3 x 6 meter.
Rutan itu dibangun di atas tanah 5,7 hektare di kompleks Lapas Cipinang. Menkum dan HAM Patrialis Akbar menyebut, rutan itu dibangun untuk menyiasati Lapas Cipinang yang kelebihan kapasitas.
Menurut Akil, yang paling butuh rutan khusus adalah tahanan kasus narkoba dan bukan koruptor. Sebab, mereka umumnya pengedar yang merangkap pemakai. Penanganannya harus khusus. Selain tempat rehabilitasi, rutan khusus tersebut berfungsi menghindarkan penyebaran penyakit menular seperti HIV/AIDS.
Akil mengakui, problem utama Lapas Cipinang adalah penghuni yang melebihi kapasitas. Namun, itu tidak berarti membenarkan perlakuan khusus atas tahanan kasus korupsi. ''Sumber permasalahannya kan penghuni rutan atau lapas yang terlalu banyak. Bukan koruptornya. Kalau begini, berarti memberi perlakuan khusus,'' tegasnya. Lagi pula, hal itu masih bisa disiasati. ''Titip aja di polres, di Polda Metro. Selesai kasusnya, masuk lapas,'' lanjutnya.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai ada diskriminasi terhadap tahanan kasus korupsi. Mereka mendapat perlakuan istimewa dan tempat terpisah dari tahanan kasus kejahatan lain. ''Itu tidak dibenarkan,'' katanya. (aga/kuh/c2/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 29 April 2010