RPP Penyadapan; Pusat Intersepsi Nasional Dipersoalkan
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan Pusat Intersepsi Nasional dalam rapat dengar pendapat bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, Selasa (2/2). Rapat itu membahas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyadapan yang dinilai akan membatasi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam rapat di Gedung DPR, Jakarta, keberadaan Pusat Intersepsi Nasional (PIN) itu, antara lain, dipertanyakan Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP). Dia mengkhawatirkan kemungkinan pelambatan pemberantasan korupsi setelah kehadiran PIN. Apalagi PIN disebutkan bisa menentukan standar teknis soal penyadapan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Basuki Yusuf Iskandar menjelaskan, PIN bisa diibaratkan sebagai mesin yang digabungkan demi efisiensi tugas. ”Jangan diartikan PIN adalah manajemen untuk mengambil alih,” katanya.
Nantinya PIN diharapkan berfungsi sebagai lembaga teknis untuk melakukan penyadapan bagi kepentingan KPK, Polri, atau penegak hukum lainnya. Namun, penegak hukum tetap dapat melakukan penyadapan sendiri. Dalam RPP, penyadapan itu mesti didahului izin dari pengadilan.
Sudarto mengungkapkan, jika korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sudah semestinya pula penanganannya dilakukan secara luar biasa. Pengaturan atau pembatasan dalam penyadapan sangat berpotensi mengganggu upaya pengungkapan korupsi.
Max Sopacua, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD), mengkhawatirkan RPP Penyadapan, setelah diundangkan, nasibnya serupa dengan Undang-Undang (UU) Kesehatan dan UU Pornografi yang seperti maju dan mundur dalam pembahasannya. (ink)
Sumber: Kompas, 4 Februari 2010