Revisi terhadap UU KPK Harus Ditolak
Rencana Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditengarai sebagai upaya mengerdilkan lembaga pemberantas korupsi itu. Dalam iklim politik saat ini, revisi harus ditolak.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Indonesia Corruption Watch di Jakarta, Minggu (24/4), memandang revisi itu sebagai serangan langsung ke ”jantung” Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Ada KPK saja banyak koruptor yang lolos, apalagi jika KPK dilemahkan. Revisi oleh DPR tidak mungkin untuk memperkuat KPK. Jadi, kami menolak,” kata M Hendra Setiawan, Kepala Divisi Monitoring Advokasi dan Investigasi MaPPI.
Dari catatan ICW, upaya mematikan KPK telah dilakukan 15 kali, baik melalui legislasi maupun kriminalisasi. Dalam legislasi, ada 13 kali uji materi (judicial review) terhadap UU KPK dan 11 di antaranya mengancam keberadaan KPK. Serangan lewat revisi UU KPK ini dinilai juga sebagai sebuah serangan terhadap KPK.
Dari informasi yang didapat MaPPI dan ICW, DPR diam-diam berupaya melakukan revisi UU No 30/2002 dengan menugaskan Sekretaris Jenderal DPR menyusun naskah akademis dan Rancangan UU KPK. ”Dari informasi yang kami dapat, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso sudah mengirimkan surat kepada Komisi III DPR untuk menyusun draf naskah akademik dan RUU KPK,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah.
Dalam surat bernomor PW01/0054/DPR-RI/1/2001 tertanggal 24 Januari 2011, kata Febri, tidak tertera jelas siapa pengusung RUU yang diklaim sebagai inisiatif DPR. Juga tak ada landasan filosofi dan sosiologis revisi itu. Berdasarkan surat tersebut, Setjen DPR melakukan pembahasan RUU KPK.
”Dalam iklim politik yang dipenuhi politik transaksional saat ini, sangat rawan dan tidak ada urgensinya mengutak-atik UU KPK,” lanjut Febri. Revisi UU KPK saat ini dinilai bukan sebagai upaya memperkuat pemberantasan korupsi, melainkan sebagai respons dari pihak yang terganggu dengan lembaga KPK.
Proses revisi ini digunakan sebagai serangan balik terhadap pemberantasan korupsi, terlebih banyak politikus di Senayan yang terjaring KPK. Dari data ICW, sejak 2007 setidaknya 42 anggota DPR yang diproses KPK.
ICW memang pernah diundang oleh DPR untuk dimintai masukan dalam revisi UU KPK. Menurut Febri, mantan pimpinan KPK Amien Sunaryadi juga pernah diundang DPR. ”Dalam kesempatan itu, ICW menyampaikan pernyataan tegas, kami menolak revisi UU KPK. Kami meragukan integritas sebagian anggota DPR,” ujar dia.
”Jebakan”
Dari term of reference yang diterima ICW, DPR memperlihatkan 10 poin yang akan dimasukkan dalam naskah akademik dan RUU KPK. Poin itu, antara lain, soal rebutan perkara antarinstitusi penegak hukum, prosedur penyadapan KPK, kemungkinan KPK mempunyai penyidik sendiri, perwakilan KPK di daerah, dan kewenangan menerbitkan penghentian perkara. ICW melihat ada ”jebakan” dalam poin-poin itu.
”Ada dua poin yang seolah-olah ingin memperkuat KPK, salah satunya kemungkinan KPK jadi penyidik tunggal korupsi dan merekrut penyidik sendiri. Tetapi, kami anggap itu hanya gula-gula politik karena delapan poin lainnya adalah bentuk penyerangan dengan melakukan revisi itu tadi,” ujar Febri. Ia yakin, jika pun nantinya dibahas, dua poin yang ingin seolah-olah memperkuat KPK tersebut bakal rontok di DPR. (ray)
Sumber: Kompas, 25 April 2011