Representasi: Mandat atau Akuntabilitas?

Apakah mencederai janji pemilu dan mengambil sebuah kebijakan tak populer berarti bunuh diri politik? Logika umum akan menjawab ya. Dalam demokrasi, tak memenuhi janji pemilu diartikan mengingkari mandat pemilih. Akibatnya gampang ditebak, pendukung utama pada pemilu kemarin akan melepaskan dukungan politiknya.

Mengambil kebijakan tak populer berarti melawan kehendak mayoritas. Hukuman politik bagi partai atau pemerintah yang tak responsif terhadap mayoritas adalah merosotnya dukungan politik secara drastis pada pemilu mendatang.

Logika ini sangat kuat dan masuk akal. Gawatnya (atau untungnya), ia tak selalu benar di tingkat empiris.

Amerika Latin
Bantahan terhadap alur logika di atas datang dari Amerika Latin. Susan Stokes (2001) melakukan studi terhadap sejumlah pemerintah di negara Amerika Latin yang berseberangan dengan logika umum itu. Dari 39 pemerintah yang ditelitinya, 29 di antaranya mengambil kebijakan yang nonpopulis. Kebijakan nonpopulis atau kebijakan yang bertumpu pada efisiensi ini mencakup privatisasi BUMN, peran negara yang minimal dalam ekonomi, dan liberalisasi perdagangan.

Lawannya adalah kebijakan populis yang mengutamakan keamanan ekonomi kelompok mayoritas dalam masyarakat, termasuk buruh, pedagang kecil dan informal, petani, sebagian kelas menengah, dan warga kota pada strata ekonomi bawah. Isi kebijakannya mencakup subsidi, perbaikan upah buruh, penciptaan lapangan kerja padat karya, dan perlindungan industri domestik.

Dari jumlah 29 itu, 17 pemerintah secara konsisten mempromosikan kebijakan nonpopulis atau proefisiensi dalam kampanye dan menerapkannya setelah menang pemilu. Sisanya, 12 pemerintah yang menjadi fokus studi guru besar Universitas Chicago itu, adalah kasus gawat. Mereka menjanjikan kebijakan populis saat kampanye, tapi ketika mereka berkuasa, kebijakannya berbalik: menerapkan kebijakan proefisiensi sebagai lawan dari kebijakan populis.

Pendeknya, dua investasi politik masa depan dicederai, yakni mandat yang dicampakkan sekaligus perongrongan terhadap kepentingan ekonomi mayoritas pemilih. Dalam kategori ini, ada pemerintah Presiden Borja dan Ballen dari Ekuador (1988 dan 1992), Fujimori dari Peru (1990), Carlos Perez di Venezuela (1989), dan Cardoso di Brasil (1989). Yang paling fenomenal adalah kasus pemerintah Carlos Menem dari Argentina (1989).

Kasus Menem di Argentina tampak istimewa karena dua alasan. Pertama, Menem adalah pemimpin Partai Peronis, yang memiliki tradisi populis sangat kuat sejak didirikan oleh Juan Peron pada awal 1950-an. Basis politiknya adalah kaum buruh. Menem tak hanya mengingkari janji kampanyenya, tapi saat memerintah ia sekaligus memukul kepentingan kelompok pendukung utamanya dengan menerapkan kebijakan efisiensi. Dalam kampanyenya yang bertajuk revolucion productiva, dia menjanjikan pemanfaatan kapasitas industri tak terpakai sehingga bisa menciptakan lapangan kerja, menaikkan upah buruh, dan mempertahankan BUMN. Ia juga memprogram pembekuan pembayaran utang luar negeri Argentina.

Begitu berkuasa, Menem dengan cepat menunjuk pejabat yang proefisiensi, lalu mengutusnya untuk sekadar mengatur ulang tapi tak menghentikan pembayaran utang. Privatisasi besar-besaran pun dilakukan. BUMN telekomunikasi dijual dan maskapai penerbangan negara, pabrik baja, petrokimia, serta stasiun TV dan radio dilego. Kemudian dia memotong belanja negara, yang berarti mengurangi kemampuan ekspansif negara untuk membiayai anggaran pembangunan.

Keistimewaan kedua, policy switching yang dilakukan Menem ternyata tak membuatnya kalah dalam laga pemilu berikutnya. Pada 1995, dia bersaing lagi dalam pemilu presiden dan menang.

Akuntabilitas
Kasus Argentina memberi kita pelajaran yang unik. Ia menyodorkan problematika bahwa dalam praktek demokrasi, mandat dan akuntabilitas tak senantiasa berjalan seiring. Idealnya, fungsi representasi mencakup keduanya, tapi kenyataannya dua hal itu bisa berjalan sendiri-sendiri dengan akibat yang relatif tak terduga.

Agar fungsi representasi berjalan, tiga hal harus diandaikan. Pertama, adanya kepentingan kolektif yang terorganisasi dalam masyarakat. Kedua, adanya partai atau kandidat yang mengklaim mewakili kepentingan kolektif itu dan meresponsnya dalam bentuk tawaran program kebijakan. Ketiga, representasi mengandaikan adanya konsistensi antara omongan dan perbuatan, antara janji pemilu dan implementasi dalam bentuk kebijakan. Karena itu, representasi bisa diartikan secara retrospektif atau bertumpu ke belakang.

Namun, representasi bisa berarti pula akuntabilitas. Akuntabilitas bersifat prospektif, melihat ke depan, yakni periode setelah pemilu bagi presiden pada jabatan pertama. Sejauh hasil sebuah kebijakan yang diambil pemerintah membawa pemenuhan kepentingan kolektif, sebuah pemerintahan dianggap akuntabel. Tak penting benar apakah sebuah pemerintahan di tengah jalan mengganti orientasi kebijakan ke arah yang berlawanan dari janji pemilu. Kalau hasil kebijakan itu dalam jangka menengah dan panjang mampu membawa perbaikan ekonomi bagi rata-rata pendukungnya, pembalikan kebijakan populis ke nonpopulis menjadi kurang relevan. Dan pencederaan janji kampanye tak otomatis mengakibatkan hukuman politik dalam pemilu.

Inilah yang dialami Menem di Argentina. Indikator ekonomi pada masa pemerintahan Menem yang pertama tak luar biasa. Jumlah penganggur, yang pada 1993 sekitar 12 persen, meningkat menjadi 17 persen pada 1995. Namun, secara makro, kinerja ekonomi Argentina stabil. Inflasi terkendali, nilai tukar mata uang tak lagi naik-turun, dan harga-harga barang kebutuhan pun stabil. Pertumbuhan ekonomi membaik di tingkat 5,6 persen (1995), setahun sebelum pemilu 1996 dijalankan.

Saat pemilu presiden yang kedua bagi Menem, para pemilih menghargai Menem yang mampu membawa normalitas ekonomi. Masyarakat tak lagi cemas bahwa inflasi akan membubung. Selembar uang hari ini bisa untuk membeli barang dalam jumlah dan kualitas yang sama pada minggu depan, harga barang impor bisa ditebak, harga kemarin tak akan naik hari ini, dan upah bulanan yang diterima buruh tak berkurang nilainya dalam sebulan ke depan.

Tingkah laku mayoritas pemilih pada pemilu presiden kedua di Argentina rupanya lebih bertumpu pada akuntabilitas pemerintah, yakni mayoritas pemilih akhirnya merasakan bahwa kepentingan ekonomi mereka relatif terjawab oleh paket kebijakan efisiensi dari Menem--kebijakan yang semula dianggap melukai kepentingan mereka. Dan Menem pun menuai dukungan yang membuatnya terpilih lagi sebagai presiden.

Untuk situasi Indonesia sekarang, kasus Menem di Argentina sangat sugestif, terutama untuk melihat prospek Susilo Bambang Yudhoyono (dan Jusuf Kalla) dalam Pemilu 2008, setelah pemerintah Yudhoyono-Kalla mengambil kebijakan yang nonpopulis. Prospek mereka akan bergantung pada apakah mayoritas pemilih nantinya berpikir secara retrospektif atau prospektif. Apakah pemilih lebih bertumpu pada konsistensi janji Yudhoyono-Kalla pada saat kampanye (yakni menciptakan lapangan kerja secara cepat sebagaimana dimuat majalah Tempo edisi khusus, Juli 2004) atau puas dengan kemungkinan perbaikan kestabilan ekonomi yang dibayangkan akan terjadi dengan pengambilan kebijakan nonpopulis.

Perhitungan prospek ini tentu saja mengandaikan pasangan Yudhoyono dan Kalla tidak pecah. Juga prospek itu bergantung pada sejauh mana instrumen kebijakan yang proefisiensi yang lain mampu membawa ekonomi Indonesia ke masa normal. Kebijakan nonpopulis, pendeknya, tak otomatis berarti bunuh diri politik. Dan pencederaan janji pemilu tak melulu berarti kiamat bagi demokrasi. Sebab, dengan prinsip akuntabilitas, kita sebagai pemilih masih bisa mengoreksi sebuah kebijakan yang salah dan menghukum pemerintah dalam pemilu mendatang.

Dodi Ambardi, Peneliti LSI, pengajar di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 31 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan