Reformasi Kejaksaan; Perkara Gayus yang Tak Menggoyahkan
Akibat perkara pajak Gayus Halomoan P Tambunan di tubuh kejaksaan tidak terlalu menyentak. Tidak sekuat saat Urip Tri Gunawan tertangkap tangan bersama uang suap 660.000 dollar Amerika Serikat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dua tahun silam.
Dugaan mafia hukum dalam penanganan perkara Gayus, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, mencuat Maret lalu. Sangkaan yang dikenakan penyidik Polri adalah korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Namun, jaksa peneliti hanya meyakini adanya penggelapan. Itu pun mencakup uang Rp 370 juta. Miliaran rupiah lain, menurut jaksa Cirus Sinaga, bersama Fadil Regan, Ika Syafitri, dan Eka Kurnia, dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, tak terbukti sebagai korupsi.
Masyarakat bertanya-tanya saat Gayus hanya dituntut satu tahun penjara dengan masa percobaan satu tahun. Lebih terenyak lagi saat majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang membebaskannya.
Menyikapi sorotan masyarakat, Jaksa Agung Hendarman Supandji memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan Hamzah Tadja memeriksa jaksa yang berkaitan dengan perkara itu. Hasilnya, 12 jaksa diberi sanksi administrasi. Sanksinya adalah tertulis dan terberat adalah dibebaskan dari jabatannya.
Apakah sanksi itu mengharu biru perasaan jaksa lain? Tidak juga. Seorang jaksa yang ditanya Kompas soal kasus Gayus, Selasa (27/4), hanya tersenyum. Tak ada kehebohan di kejaksaan. Jauh berbeda dengan kondisi kejaksaan saat Urip tertangkap oleh KPK. ”Soalnya, tak ada jaksa yang ketahuan terlibat,” katanya berseloroh.
Hasril Hertanto, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berpendapat, sepinya gejolak di kejaksaan dalam kasus Gayus sudah dapat diprediksi. ”Kita lihat, sebagai penanggung jawab tertinggi dalam perkara ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kamal Sofyan hanya diberi sanksi ringan, teguran tertulis. Ini menunjukkan sistem yang lemah, sanksinya ringan. Jadi, jaksa lain akan menilai kasus ini biasa saja,” katanya.
Bahkan, kata Hasril, muncul selentingan di kejaksaan, terungkapnya kasus semacam Gayus ini karena jaksa ”sedang sial”. Karena itu, pada waktu mendatang, bisa jadi kasus semacam penanganan perkara Gayus itu akan mencuat lagi.
Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), juga menilai, sanksi bagi jaksa di jajaran struktural amat ringan. ”Mereka semestinya ikut bertanggung jawab,” katanya.
Pada 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membuat gebrakan saat memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan Achmad Lopa memeriksa sejumlah jaksa terkait perkara sabu seberat 20 kilogram dengan terdakwa Hariono Agus Tjahjono. Dari pemeriksaan Bidang Pengawasan diketahui, jaksa penuntut umum tak mengikuti petunjuk atasan.
Empat jaksa penuntut umum dinilai berbuat tercela. Jaksa Danu Sebayang dan Ferry Panjaitan diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil serta Jeffri Huwae dan Mangontan dibebaskan dari jabatan. Kepala Kejari Jakarta Barat Dimas Sukadis dihukum penundaan kenaikan gaji berkala selama setahun dan Asisten Tindak Pidana Umum Kejati DKI Jakarta Nur Rochmad dihukum penundaan kenaikan pangkat selama setahun. Bahkan, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rusdi Taher dicopot dari jabatannya. (idr)
Sumber: Kompas, 29 April 2010