Reformasi Indonesia Berantakan
Jakarta, antikorupsi (30/09/2015) – Orde Reformasi diharapkan dapat mengganti sistem politik militer yang otoriter khas Orde Baru dengan demokrasi, sistem pemerintahan yang sentralistik ke demokrasi lokal, serta mengikis korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun harapan itu masih jauh dari kenyataan karena Indonesia melaksanakan deregulasi secara drastis tanpa persiapan dan tahapan yang jelas.
Hal tersebut diutarakan oleh Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution dalam diskusi deklarasi Gerakan Antikorupsi (GAK), di Universitas Indonesia, Salemba, Rabu (29/09/2015).
Menurutnya, Indonesia memiliki kelembagaan yang sangat lemah. Maka hal ini berimbas pada tiga harapan diatas setelah reformasi tidak dapat terwujud.
Anwar menilai, selama ini tidak ada, baik Presiden maupun tokoh-tokoh politik yang berupaya membangun kelembagaan yang tidak koruptif serta membangun cita-cita reformasi. Dirinya mencontohkan, dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu berkuasa selama 10 tahun hampir tidak membuat terobosan apapun. Sebaliknya korupsi malah merajalela baik di partainya maupun dalam kabinet pemerintahannya.
“Kedepan pemimpin bangsa ini harus memiliki perencanaan pembangunan dalam jangka panjang dan menengah. Serta penguatan pemerintah daerah (pemda) agar pembangunan merata dan tidak hanya terpusat di kota besar,” tegasnya.
Sementara itu, Deputi Riset, dan Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Universitas Gajah Mada (UGM) Rimawan Pradiyto, mengatakan, korupsi memiliki dampak yang sangat luas baik dalam kehidupan bernegara, ekonomi, sampai pelanggaran HAM. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang kebanyakan, namun dilakukan juga oleh aparat penegak hukum.
“Korupsi saat ini sangatlah struktural karena sistem di negara ini memfasilitasi orang untuk korupsi,” ujarnya.
Dalam pemberantasan korupsi, pemerintah dinilai kurang memiliki peran yang signifikan. Dirinya tidak heran karena permasalahan pada kelembagaan dimana sistem tidak berjalan sehingga tidak dapat memutuskan tali korupsi.
“Sistem insentif di pemerintah itu sangat keliru dengan berlomba-lomba melakukan penyerapan tinggi tetapi tidak melihat dampak dari penyerapannya. Hasilnya, masih banyak masyarakat tidak mampu dan kemiskinan makin bertambah di Indonesia,” tegas Rimawan.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, menjelaskan, korupsi dimulai dari persoalan yang terjadi di tubuh partai politik. Pada umumnya, partai politik di Indonesia sangat dikendalikan oleh siapa yang memiliki saham terbesar di partai. Partai dibangun bukan dari proses demokrasi internalnya, melainkan didominasi oleh kepentingan elite partai.
“Dalam pilkada sebagai contoh, bukan kader yang baguslah yang diusung, melainkan kader yang mampu menyumbangkan uang terbanyak kepada partainya. Ini mengakibatkan partai menjadi sakit dan demokrasi internal partai mati,” kata Ade. Alih-alih menjadi pilar demokrasi, partai politik justru menjadi pusat dari praktek korupsi yang massif. (Ayu-Adnan)