Reformasi Aparatur Negara Belum Berhasil

Dari tiga program utama reformasi yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia, yakni reformasi politik atau demokratisasi kehidupan politik, reformasi ekonomi atau stabilisasi ekonomi, dan reformasi aparatur negara, guru besar kebijakan publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi, menilai reformasi aparatur negara belum berhasil.

Kepada Kompas di Jakarta, Selasa (7/10), Sofian yang kini menjadi Decentralization Senior Advisor Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia mengatakan, Pemerintah Indonesia belum mampu mengatasi masalah mendasar dalam pembangunan aparatur negara yang profesional dan bersih dari intervensi politik, serta desentralisasi yang efektif, yang mampu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan tujuan desentralisasi.

”Semua itu belum tercapai karena dua alasan,” ucap mantan Rektor UGM itu. Pertama, kerangka peraturan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan, aparatur negara, desentralisasi, lembaga peradilan, dan lainnya belum cukup memadai untuk pembangunan aparatur negara yang profesional dan bebas dari intervensi politik.

Kedua, kebijakan pokok pembangunan aparatur negara juga agak terbengkalai karena tiga pilar pembangunan tata kepemerintahan yang baik, yaitu Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Lembaga Aparatur Negara, dan Badan Kepegawaian Negara, sampai saat ini belum memiliki visi dan misi yang jelas sekaligus mantap tentang pembangunan tata kepemerintahan yang baik (good governance), desentralisasi, dan penegakan hukum.

”Hanya dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme terasa ada gebrakan yang berarti, paling tidak efek deterrent mulai terasa,” ujarnya.

Secara terpisah, pakar administrasi negara dari Universitas Indonesia, Jakarta, Eko Prasojo, Selasa, mengakui, proses reformasi birokrasi sulit dituntaskan saat agenda Pemilu 2009 kian dekat. Sulit diharapkan ada fokus untuk membenahi birokrasi. Pada masa menjelang pemilu, justru tidak ada manfaatnya bagi politisi untuk mengedepankan reformasi birokrasi. Bahkan, bagi politisi, birokrasi kerap dimanfaatkan pada masa menjelang pemilu.

Eko mengakui, paket undang-undang (UU) untuk reformasi birokrasi sulit diselesaikan oleh DPR periode 2004-2009 karena memang baru Rancangan UU Pelayanan Publik yang dibahas. Kalaupun RUU itu selesai, berikutnya maksimal hanya tiga RUU yang bisa diajukan pemerintah, yaitu RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Aparatur Negara, dan RUU Etika Penyelenggara Negara.

Namun, lanjutnya, jika RUU itu bisa rampung pada periode sekarang, sudah menjadi fundamen bagi pemerintah hasil Pemilu 2009 untuk serius membenahi birokrasi Indonesia.

Profesionalitas

Dalam kaitan dengan kinerja pegawai negeri sipil, lanjut Sofian, seharusnya perhatian lebih tertuju pada kebijakan makro untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja aparatur negara. ”Dari tiga program utama reformasi, baru reformasi politik dan reformasi ekonomi yang berhasil,” katanya.

Untuk menciptakan aparatur negara yang profesional dan bebas dari ”pencemaran politik”, UU Nomor 43 Tahun 1999 telah memerintahkan pendirian Komisi Aparatur Negara yang independen sebagai regulatory authority dalam bidang aparatur negara. Namun, setelah sembilan tahun, komisi tersebut tetap tak terbentuk.

Komisi Aparatur Negara kian diperlukan dalam sistem pemerintahan presidensial dan sistem politik multipartai. (pom/dik)

 Sumber: Kompas, 9 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan