Rasa Malu dan Jera untuk Korupsi

Ada pertanyaan menarik: apa hubungan antara rasa malu dan jera dengan semangat dan komitmen antikorupsi di kalangan khalayak, termasuk aparatur dan petinggi hukum di Indonesia?

Pertanyaan itu diakui masuk akal karena sebagian orang, apalagi penegak hukum, sudah terbiasa dengan pemikiran berkonstruksi normatif dan sering dilupakan bahwa hukum selalu berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Begitu pula perkembangan kejahatan, termasuk korupsi. Van Savigny berpendapat bahwa hukum adalah pencerminan dari jiwa bangsa. Oleh karena itu, perkembangan hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakatnya. Hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan kejahatan yang selalu paralel dengan perkembangan masyarakat tempat kejahatan itu tumbuh dan berkembang.

Dalam konteks ini, membangun rasa malu dan jera terhadap perilaku korupsi hanya dapat dicerna dengan jernih jika kita berada dalam satu lingkungan komunitas yang memiliki semangat dan komitmen antikorupsi, bukan pada lingkungan yang sebaliknya. Sangat naif jika masih ada pendapat yang mempersoalkan kedua rasa itu, bahkan menegasikannya, dengan lebih mengedepankan pendekatan legalistik-normatif dan tertutup terhadap situasi dan kondisi korupsi yang semakin sistemik dan meluas. Untuk tujuan pemberantasan korupsi itulah Gerakan Reformasi tahun 1998 dikobarkan yang intinya memberantas KKN.

Di dalam empat kali perubahan UU Antikorupsi, Inpres 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, serta di dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004- 2009, membangun rasa malu dan jera tak tersentuh sama sekali, bahkan tak terpikirkan sama sekali.

Masih terbelah

Penegakan hukum terhadap kasus korupsi selama satu dasawarsa tidak menunjukkan perubahan dan hasil yang signifikan terhadap perubahan sikap, komitmen, perilaku, dan kinerja birokrasi, termasuk kinerja lembaga penegak hukum. Dalam konteks APBN, secara finansial terbukti lebih besar pasak daripada tiang: penyelamatan kerugian keuangan negara karena korupsi lebih kecil dibandingkan dengan uang negara yang tak terselamatkan dan dilarikan ke luar negeri (kasus BLBI, kasus Migas, dan kasus pembalakan liar).

Sikap lembaga penegak hukum masih terbelah dalam fragmentarisme dan egoisme serta arogansi sektoral sehingga menghambat efisiensi dan efektivitas penegakan hukum, terutama yang melibatkan aparatur penegak hukum serta anggota badan legislatif dan yudikatif. Peran komisi-komisi pengawas lembaga penegak hukum belum optimal dilaksanakan berkaitan dengan keterbatasan wewenang berdasarkan UU yang ada.

Membangun masyarakat sadar hukum sejak tahun 1970-an telah dicederai dengan keterlibatan aktif petinggi hukum dan aparatur penegak hukum dalam perilaku koruptif. Perbuatan itu menurunkan secara drastis tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Ada fenomena unik dan patut diamati secara serius, yaitu pertama, semakin intensif gerakan memberantas korupsi semakin tinggi resistensi terhadap langkah penegakan hukum yang dilaksanakan.

Semakin meluas kesadaran masyarakat untuk memberantas korupsi dan mendorong akuntabilitas serta transparansi dan integritas pejabat publik, semakin inklusif dengan bingkai normatif sikap pejabat publik terhadap kontrol masyarakat tersebut. Semakin meningkat KPK dan Kejaksaan Agung menangani perkara korupsi semakin permisif masyarakat serta sebagian birokrasi dan penegak hukum terhadap perilaku koruptif di dalam lingkungannya; bahkan semakin protektif terhadap kawan seiring yang koruptif dengan berbagai alasan normatif.

Semakin meninggi aspirasi keadilan sosial terhadap adanya kesenjangan dan diskriminasi perlakuan hukum terhadap para koruptor dibandingkan dengan tersangka/terdakwa miskin, semakin tuli dan buta tampaknya terhadap realitas sosial yang hadir di sekelilingnya. Berbagai bantuan teknis negara donor dalam miliaran dollar AS telah dikucurkan untuk pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, tetapi hasilnya mengejutkan bak kuali terbalik!

Kata kunci dari semua persoalan ini bukan pada UU, bukan pada semangat, komitmen, dan sikap; melainkan pada budaya malu yang hanya dapat dibangun dalam komunitas yang masih menjunjung tinggi kesusilaan, kesopanan, dan norma hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Budaya malu tak dapat dibentuk dengan UU, melainkan dengan panutan yang konkret dari kepala keluarga, atasan, dan pemimpin pada tiga pilar kekuasaan di negeri ini.

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

Tulisan ini disalin dari Kompas,  22 Agustus 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan