Rapat Pansus Century Hadirkan Robert Tantular dan Susana Choa
Pansus Soroti Pemecahan Rekening di Bank Century
Kasus Bank Century belum menemukan titik terang, terutama dalam dugaan penggelapan dana USD 18 juta milik nasabah Boedi Sampoerna.Dalam pemeriksaan kemarin, saksi Robert Tantular menuding Boedi mengingkari kesepakatan. Sebaliknya, Boedi balik menuduh Robert yang menggelapkan dana tersebut.
Kasus yang melibatkan dana Boedi di Bank Century adalah dugaan penggelapan dana senilai USD 18 juta oleh Robert. Selain itu, ada pemecahan rekening senilai USD 42,8 juta milik Boedi Sampoerna menjadi 247 Negotiable Certificate Deposit (NCD), dengan nilai nominal masing-masing Rp 2 miliar.
Menurut Robert, seluruh dana yang terkait Boedi telah disepakati oleh kedua belah pihak. ''Jadi, tidak benar kalau saya dituduh menggelapkan dana. Bahkan, pemecahan rekening itu juga diusulkan pihak Boedi Sampoerna,'' ujarnya.
Rapat pansus kemarin (11/1) menghadirkan Robert sebagai pemegang saham pengendali Bank Century dan Susana Choa, auditor internal Bank Century. Rapat yang diagendakan dimulai pukul 10.00 molor dan baru dimulai 14.15. Sebab, pansus harus memperoleh izin dari Pengadilan Tinggi (PT) DKI untuk menghadirkan Robert. Sebab, terpidana kasus Bank Century itu tengah mengajukan banding perkaranya. Kehadiran Robert di ruang pansus sempat membuat ricuh karena dia langsung diserbu puluhan wartawan dan sekitar 25 mantan nasabah Bank Century. Empat bodyguard Robert dan beberapa petugas lapas serta pengamanan dalam (pamdal) DPR sempat kewalahan.
Di depan anggota pansus, Robert dicecar seputar penggelapan dana dan pemecahan rekening milik Boedi. Atas pertanyaan-pertanyaan itulah, Robert memaparkan kronologi yang justru memojokkan Boedi.
Robert menceritakan, sejak Agustus 2008, likuiditas Bank Century memburuk. Pada saat yang sama, Boedi sebagai nasabah terbesar Bank Century berniat menarik sebagian dana untuk keperluan pembelian tembakau. Namun, likuiditas tak kunjung membaik, sehingga Boedi pada November terus ingin menarik dananya. Boedi bahkan pernah ingin menarik dana senilai Rp 1 triliun. ''Karena itu, pada November 2008, bersama direksi Bank Century, saya datang ke Surabaya bertemu Pak Boedi,'' katanya.
Dalam kesempatan itu, Robert menawarkan kepada Boedi agar ikut menjadi pemegang saham. Tapi, tawaran itu ditolak. Selanjutnya, menurut Robert, Boedi mengutus Rudy Sorayan, seorang warga Australia namun fasih berbahasa Indonesia, untuk menemuinya di kantor pusat Bank Century, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, kata Robert, Rudy Soraya mengusulkan dua opsi. Pertama, membeli aset-aset Bank Century seperti gedung. Kedua, keinginan Boedi memecah-mecah rekening menjadi pecahan senilai Rp 2 miliar. Pemecahan ini dilakukan agar jika Bank Century ditutup, dana dalam pecahan Rp 2 miliar tersebut bisa masuk dalam skema penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). ''Jadi, bukan saya yang mengusulkan pemecahan itu. Niat saya hanya membantu nasabah," jelasnya.
Boedi, lanjut Robert, bahkan memecah dananya ke dalam 247 NCD yang mayoritas dibuat seolah-olah milik nasabah lain dengan memanfaatkan kartu tanda penduduk (KTP) milik karyawan Boedi di Surabaya dan Bali. ''Jadi, kalau dalam audit BPK disebutkan dipecah dengan KTP pelamar (calon karyawan) Bank Century, itu tidak benar," ucapnya.
Saat didesak anggota pansus dari Partai Hanura, Akbar Faizal, apakah pemecahan rekening tersebut merupakan skenario untuk mengakali UU LPS, Robert mengiyakan. "Iya, memang seperti itu," kata Robert.
Sementara terkait uang USD 18 juta, Robert mengatakan, uang itu dipinjam untuk mengganti kerugian transaksi valas di Bank Century di mana Dewi Tantular, kakaknya, menjadi kepala divisi bank notes Bank Century. ''Itu pinjaman pribadi. Saya juga bikin personal guarantee untuk membayar utang tersebut. Karena itu, saya juga heran mengapa manajemen Bank Century membayar USD 18 juta itu. Sekali lagi saya katakan, pinjaman itu sudah disepakati Pak Boedi,'' bebernya.
Sementara itu, Eman Achmad, pengacara keluarga Boedi dari Kantor Eman Achmad & CO menyatakan, proses pemindahanbukuan deposito kliennya USD 96 juta dari kantor cabang Bank Century Surabaya ke Jakarta, penerbitan 247 NCD senilai USD 42,5 juta oleh Robert Tantular, dan pendebetan deposito USD 18 juta milik Boedi, dilakukan Robert. ''Itu (jelas) melawan hukum,'' ujar Eman melalui siaran pers kemarin.
Menurut Eman, saat itu Robert minta kepada kliennya untuk memindahkanbukukan depositonya sebesar USD 96 juta dari Surabaya ke Jakarta dan memecahkan menjadi kecil-kecil dengan alasan untuk memudahkan pencairan. Dalam pertemuan itu, Boedi hanya menyetujui untuk memindahkan bukukan dari Surabaya ke Jakarta dan dana itu harus tetap atas namanya dan perusahaannya, PT Lancar Sampoerna Bestari.
Inilah yang dipahami oleh Boedi sebagai pemindahbukuan dari rekening Boedi dan PT Lancar Sampoerna Bestari di Surabaya ke rekeningnya di Jakarta. Selanjutnya, dua hari kemudian, Robert menyodorkan 247 lembar NCD dengan total nilai USD 42,5 juta. ''Pak Boedi tidak pernah setuju dengan NCD itu dan tetap berpegang pada sertifikat deposito asli sebagai bukti sah dana milik BS (Boedi). BS tidak pernah menukar sertifikat deposito asli tersebut dengan NCD. Jadi tidak benar jika klien saya dikatakan merekayasa penerbitan NCD bersama-sama dengan Robert,'' jelasnya.
Menurut Eman, bila pemecahan rekening itu disetujui kliennya, mengapa tidak seluruh deposito atau dana simpanan kliennya di Bank Century yang dipecah-pecah menjadi NCD. ''Mengapa hanya USD 42,5 juta,'' ujar Eman. Dia menegaskan, pihaknya akan meminta waktu kepada BPK untuk mengklarifikasi dana milik Boedi di Bank Century. "Ini penting untuk membersihkan nama baik keluarga Boedi Sampoerna," ujarnya.
Dalam rapat pansus kemarin, Robert juga membawa semacam buku putih untuk mengklarifikasi keterlibatannya dalam kemelut Bank Century. Judulnya sangat provokatif : Robert Tantular, Korban dari Pemegang Saham Asing dan Bank Indonesia. Buku setebal 21 halaman plus puluhan lampiran tersebut diserahkan kepada anggota pansus.
Sementara itu, DPR hari ini bakal menggelar rapat paripurna membahas surat presiden soal pengajuan RUU tentang pencabutan Perppu No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Pansus Angket Bank Century menilai pengajuan RUU tersebut manipulatif dan secara vulgar ingin menutup skandal Bank Century.
Anggota Pansus Bank Century Bambang Soesatyo menuturkan, bila RUU tersebut diterima DPR, ada empat dampak yang terjadi. Pertama, RUU tersebut otomatis membubarkan Pansus Angket Bank Century. Sebab, dengan diterimanya RUU tersebut, DPR secara otomatis mengakui Perppu JPSK masih berlaku hingga 30 September 2009.
Padahal, DPR bersikukuh Perppu JPSK hanya berlaku hingga rapat paripurna DPR pada akhir masa persidangan 18 Desember 2008. "Akibat kedua, audit investigasi BPK atas Century tidak bermakna karena bailout Rp 6,7 triliun untuk Bank Century sah, mengikat, dan tidak melanggar hukum," tuturnya. (owi/noe/agm/kum/oki)
Sumber: Jawa Pos, 12 Januari 2010