Rapat Dengar Pendapat; DPR Menantang Ditjen Pajak
Panitia Kerja Perpajakan Komisi XI DPR menantang Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto menjadi 16 persen. Tahun ini pemerintah hanya menetapkan rasio penerimaan pajak sebesar 12 persen terhadap produk domestik bruto.
Jika Ditjen Pajak mampu meningkatkan rasio penerimaan pajak menjadi 16 persen, penerimaan dari pajak bisa mencapai Rp 960 triliun. Sementara kalau pemerintah hanya menargetkan rasio penerimaan pajak 12 persen, penerimaan pajak hanya Rp 742,7 triliun.
Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Mohammad Tjiptardjo dengan Panitia Kerja Perpajakan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (7/4).
Rasio penerimaan pajak yang ada di negara berkembang, selain Indonesia, ada di level 16 persen. Karena itu, sangat mengejutkan jika pemerintah hanya menargetkan rasio penerimaan pajak sebesar 12 persen.
Anggota Komisi XI DPR, Nusron Wahid, mencurigai selisih 4 persen itu merupakan besaran uang pajak yang tidak masuk ke kas negara karena digelapkan makelar pajak. ”Jadi, kalau Dirjen Pajak mengatakan tidak banyak Gayus-Gayus, maka saya menantang Dirjen Pajak untuk menaikkan tax ratio menjadi 16 persen, sesuai dengan target ideal negara berkembang. Kalau tidak, sebaiknya Dirjen Pajak mundur saja,” ungkap Nusron.
Masalah Gayus menjadi perhatian utama Panja Perpajakan karena mereka mendapatkan banyak informasi tentang banyaknya peluang terjadinya suap-menyuap di seluruh tingkatan pembayaran pajak. Peluang adanya suap itu muncul sejak wajib pajak melaporkan penghasilan kena pajak hingga penyelesaian keberatan di pengadilan pajak.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Edison Betaubun, mengatakan, peluang suap sudah dapat ditemukan pada saat mengisi surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan.
Wajib pajak yang awam akan dihadapi kesulitan mengisi SPT yang pada akhirnya ditakut-takuti adanya ancaman pidana jika salah mengisi SPT tersebut.
”Potensi lainnya terjadi juga di pengadilan pajak yang ternyata seluruhnya ada kait-mengait karena hakimnya, konsultan pajaknya, hingga makelarnya juga terkait Ditjen Pajak,” ungkapnya.
Keberadaan makelar pajak ini tumbuh subur karena fungsi pengawasan di Ditjen Pajak tidak ada. ”Kasus Gayus saya yakin hanya kasus kecil. Sejak dulu dikatakan ada pengawasan melekat, yang ada kebocoran melekat,” ujar Edison.
Anggota Panitia Kerja Perpajakan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ecky Awal Mucharam, menegaskan, kasus Gayus adalah fenomena yang tidak mengejutkan, apalagi dana yang beredar di rekeningnya hanya Rp 25 miliar. Itu tergolong kecil dibanding potensi penggelapan pajaknya.
Dirjen Pajak mengatakan, proses penguatan reformasi di Ditjen Pajak masih berlangsung, antara lain pemeriksaan 10 atasan Gayus Tambunan.
Pemeriksaan itu diultimatum harus selesai akhir minggu ini. ”Kami harap dengan pemeriksaan itu akan diketahui orang-orang yang terkait. Pejabat yang tidak terkait akan dipekerjakan kembali,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Kepabeanan Sistem Fiskal dan Moneter Hariyadi Sukamdani menyatakan pesimistis atas reformasi perpajakan dan remunerasi di Ditjen Pajak.
”Permasalahannya terletak pada kekuasaan Ditjen Pajak yang terlalu besar,” ujar Hariyadi.
Seorang pengusaha, Ismed Hasan Putro, pernah beperkara soal pajak. ”Saya pernah berhadapan dengan pengadilan pajak karena penetapan nilai pajak yang tidak adil, dipaksakan, dan sewenang-wenang,” katanya.
Selama beperkara di pengadilan pajak, ujar Ismed, tawaran demi tawaran disampaikan dengan janji bisa menyelesaikan perkara lebih cepat. (OIN/OSA/GUN/LKT)
Sumber: Kompas, 8 April 2010