Rancangan Peraturan Biaya Perkara Masih Terganjal

Kalau tidak selesai, bisa lewat court.

Kalau tidak selesai, bisa lewat court.

Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Biaya Perkara masih terganjal. Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa menyatakan sampai saat ini belum tercapai kesepahaman antara Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan soal definisi biaya perkara.

Menurut Hatta, Mahkamah Agung menganggap biaya perkara merupakan uang titipan yang tidak bisa diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Adapun BPK menganggap biaya perkara adalah uang yang masuk ke negara. Ini yang masih menjadi perbedaan, kata Hatta di kantornya kemarin.

Namun, perbedaan ini, kata Hatta, harus diselesaikan melalui satu solusi. Tidak ada yang tidak bisa diselesaikan, stakeholder harus sama pandangannya, kata Hatta.

Senin lalu BPK mengancam akan memberikan status disclaimer terhadap Laporan Keuangan Mahkamah Agung 2007 jika lembaganya tak bisa mengaudit pengelolaan biaya perkara di lembaga hukum tertinggi tersebut. Status disclaimer merupakan penilaian opini terburuk dari akuntan yang menunjukkan tidak akuntabelnya sebuah lembaga atau badan hukum

Itulah buntut perseteruan di antara kedua lembaga sejak September 2007. BPK ngotot menyatakan berhak mengaudit biaya perkara karena semua uang yang digunakan untuk pelayanan publik harus diaudit sebagai bagian dari keuangan negara. Sebaliknya, MA menilai biaya perkara hanya uang titipan pihak yang beperkara dan akan dikembalikan bila ada kelebihan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menengahi perseteruan kedua lembaga ini tahun lalu. Saat itu Presiden memutuskan membuat peraturan yang dapat menengahi kisruh kedua lembaga.

Hatta menegaskan pemerintah akan segera menyelesaikan Peraturan Pemerintah tentang Biaya Perkara. Saya harap bulan depan. Ini penting, karena tidak bisa konflik terus-terusan, katanya.

Secara terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Biaya Perkara ini. Putuskan saja, walaupun ada pihak yang tidak puas, biasa itu, kata Jimly.

Jimly mengatakan Presiden tidak bisa menunda pengesahan rancangan peraturan pemerintah tersebut karena alasan Badan Pemeriksa Keuangan tidak setuju terhadap isi peraturan pemerintah tersebut. Peraturan pemerintah merupakan kewenangan konstitusional Presiden Yudhoyono. Aspirasi BPK tidak mengikat Presiden, ujarnya.

Menurut Jimly, jika Presiden Yudhoyono tidak bisa menyelesaikan masalah ini, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung dapat menyelesaikan lewat pengadilan. Kalau tidak selesai, terpaksa lewat court, ujarnya.

Kepala Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri BPK Dwita Pradana mengatakan pihaknya berwenang mengaudit lembaga negara, termasuk MA, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan BPK mengaudit lembaga negara dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang BPK serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pemeriksaan.

Jadi bukan masalah takut atau tidak takut serta ancam-mengancam. Ini masalah penegakan hukum untuk transparansi dan akuntabilitas. Seharusnya MA memberi contoh, katanya. FANNY FEBIANA | SUTARTO | GUNANTO

Sumber: Koran Tempo, 17 April 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan