Pungutan Keluhan Utama Penerimaan Siswa Baru

Pungutan muncul karena sekolah punya posisi tawar tinggi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pungutan masih menjadi keluhan utama dalam penerimaan siswa baru. "Sebanyak 90 persen pengaduan berkaitan dengan pungutan," kata peneliti ICW, Febri Hendri, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, kemarin.

Laporan tersebut diterima ICW selama penerimaan siswa baru 2008/2009. Tahun ajaran sebelumnya, pengaduan karena pungutan mencapai 94,2 persen. Rata-rata beban biaya berkaitan dengan formulir, seragam, tes, uang gedung atau uang kursi.

Pungutan muncul, kata Febri, karena sekolah punya posisi tawar tinggi. Orang tua memilih menyekolahkan anaknya di sekolah negeri yang kursinya terbatas. Ditambah lagi, kata dia, pemerintah kini membolehkan pungutan pada sekolah berstandar nasional dan berstandar internasional.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Suyanto, di Departemen Pendidikan Nasional akhir pekan lalu menyatakan masalah penerimaan siswa baru merupakan kewenangan Dinas Pendidikan Daerah. Kecuali, kata dia, jika situasinya sudah menyimpang luar biasa dari standar nasional.

"Kami punya instrumen untuk memverifikasi dan diambil sanksi oleh Bupati dan Wali Kota," kata dia.

Febri menyatakan heran terhadap tanggapan departemen ini. Padahal, kata dia, inflasi jelas terjadi paling tinggi pada Juli. "Ketika penerimaan," kata dia. Orang tua pada bulan ini bergulat mencari uang untuk mendaftarkan anaknya. "Apa ini bukan kejadian luar biasa?"

Catatan ICW tahun lalu, pungutan selama penerimaan siswa baru terbesar pada siswa SMA (rata-rata Rp 2,5 juta per siswa), kemudian siswa SMP (rata-rata Rp 600 ribu), dan siswa SD (Rp 520 ribu). Data diolah dari 69 sekolah di tujuh provinsi, yakni Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.

Pemerintah, kata Febri, sudah melarang pungutan selama penerimaan. "Tapi daerah banyak yang tidak mengikutinya," kata Febri. Pemerintah dinilai harus memberi sanksi jelas bagi sekolah yang memungut selama penerimaan siswa baru. DIANING SARI

Sumber: Koran Tempo, 15 Juli 2009

{mospagebreak title=Temukan Banyak Pelanggaran PSB}
Temukan Banyak Pelanggaran PSB

Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali menyoroti problem pendidikan. Kali ini terkait pelanggaran selama pe­nerimaan siswa baru (PSB). Kegiatan rutin pada awal tahun pe­lajaran ini masih diwarnai kasus pungutan, jual beli bangku ko­song, dan diskriminasi.

Peneliti Pelayanan Publik ICW Febri Hendri A.A. mengatakan, ber­dasar pengaduan yang masuk ke ICW, keluhan terbanyak adalah pungutan. Pungutan yang diberlakukan sekolah bervariasi. Makin tinggi level pendidikan, makin tinggi pula biaya yang ha­rus dikeluarkan wali murid.

Dari laporan sementara, jumlah pungutan yang diberlakukan untuk siswa SMP rata-rata Rp 500 ribu. Untuk siswa SMA bisa men­capai Rp 1,5 juta. Pungutan rintisan sekolah bertaraf internasio­nal jauh lebih tinggi. Bahkan, jumlahnya hingga Rp 20 juta. ''Bayangkan, siapa yang bisa masuk sekolah itu jika bukan anak orang kaya,'' ujarnya kemarin (14/7).

Dia mengungkapkan, tahun lalu kasus pungutan ditemukan di tujuh provinsi. Yakni, Jakarta, Garut (Jabar), Padang (Sumbar), Ma­kassar (Sulsel), NTT, Banjarmasin (Kalsel), dan Manado (Su­lut). Data ICW menyebutkan, tahun lalu ada lima kasus teratas yang mewarnai pelaksanaan PSB. Yaitu, pungutan SD hingga SMA 94,2 persen, pemerasan 2,5 persen, jual beli bangku kosong 1,7 persen, diskriminasi 0,8 persen, dan minimnya sosialisasi PSB 0,8 persen.

Tahun ini, kata dia, kasus yang mendominasi PSB tidak berubah. Se­lain pungutan, jual beli bangku kosong masih terjadi. Karena itu, ICW minta sekolah mengumumkan nama siswa yang batal men­daftar ulang. ''Jangan-jangan nama-nama itu fiktif. Tujuannya men­ciptakan bangku kosong dan sengaja menjualbelikannya.'' (kit/dwi)

SUmber: Jawa Pos, 15 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan