Program 100 Hari Tidak Menjawab Persoalan
Program 100 hari yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menjawab persoalan yang dirasakan sebagai kebutuhan oleh masyarakat. Meski program itu menjadi cara pemerintah untuk menunjukkan kesungguhan bekerja, program yang ada bukan hal-hal penting.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung dalam diskusi bertema ”Menakar 100 Hari Pemerintahan Yudhoyono-Boediono” di Megawati Institute, Jakarta, Rabu (3/2). Akbar Tandjung hadir sebagai pembicara bersama ekonom Hendri Saparini, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, dan praktisi hukum Taufik Basari.
Menurut Akbar, program 100 hari yang disampaikan Presiden Yudhoyono itu untuk memperlihatkan bahwa pemerintah bekerja keras, terutama merealisasikan hal-hal yang disebutkan dalam kampanye. Namun, kenyataannya, program 100 hari sulit untuk diselesaikan.
”Program sulit terukur, lebih cenderung untuk pencitraan. Sosialisasi program kepada masyarakat juga tidak optimal karena muncul isu, seperti Bibit-Chandra dan Bank Century. Energi pemerintah jadi terfokus pada bagaimana menanggapi isu itu,” kata Akbar.
Hendri Saparini malah mengkritik lebih keras. Menurut dia, program 100 hari pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II gagal. Kini, kata Saparini, hal penting adalah meyakinkan publik bahwa pemerintah baru ini mampu membawa kebijakan hingga lima tahun mendatang.
Yudi Latif mengingatkan, program 100 hari pemerintahan digulirkan pada masa Presiden Franklin Delano Roosevelt. ”Cepat, cepat, cepat kerja, itu pada masa Roosevelt. Tapi, dalam 100 hari di sini, tidak ada kecepatan kerja itu,” ujar Yudi.
Menurut Yudi, saat ini opini publik memang tidak berpihak kepada Yudhoyono karena kebijakan yang digulirkan Yudhoyono di luar pemahaman publik. Misalnya, menyatakan memberantas korupsi, tetapi dalam praktiknya malah muncul kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Akibatnya, citra Yudhoyono menurun.
Dalam paparannya, Taufik Basari menyebutkan, saat ini Yudhoyono dan Boediono terjebak dalam program mereka sendiri. Masa pemerintahan 100 hari malah diisi dengan skandal politik masalah hukum serta penampakan ketimpangan keadilan.
Taufik bahkan mengkritik, pemberantasan mafia hukum yang ditandai dengan pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum hanya retorika.
Secara terpisah, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, memberikan nilai kurang atau ”D” untuk bidang pemberantasan korupsi. ”Program yang dirinci dalam bentuk rencana aksi nyaris tak terdengar kabarnya,” ujar Danang Kurniadi, peneliti Pukat. (wer/idr)
Sumber: Kompas, 4 Februari 2010