Presiden Wajib Lakukan Intervensi
Penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam pemberantasan korupsi, dinilai mulai mengarah kepada kehancuran dan kebangkrutan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak boleh membiarkannya dan harus melakukan intervensi untuk mencegah kehancuran dan kebangkrutan hukum itu.
”Dengan kewenangan yang diberikan konstitusi, Presiden wajib melakukan intervensi untuk menjebol kemacetan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi dan mata rantainya,” ujar Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar F Mas’udi, Sabtu (8/1) di Jakarta.
Intervensi itu, lanjut Masdar, bukan pelanggaran hukum, melainkan aksi transendensi untuk menyelamatkan esensi hukum, yakni ketertiban dan keadilan. Ia menganalogikan intervensi itu seperti tindakan yang sama yang dilakukan polisi lalu lintas untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Dalam kondisi itu, polisi tak hanya boleh, tetapi wajib mengabaikan lampu dan rambu lalu lintas sampai kemacetan bisa diurai dan kondisi normal lagi.
”Keengganan melakukan intervensi tidak saja mengabaikan amanat konstitusi, tetapi membiarkan negara dalam ancaman kebangkrutan dan kehancuran pula,” ingatnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan, publik bisa dikatakan sangat kecewa dengan kondisi penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, dalam tahun pertama pemerintahan Presiden Yudhoyono periode kedua. Jika tak segera dilakukan langkah progresif, sangat mungkin kekecewaan publik akan terakumulasi hingga memunculkan delegitimasi terhadap kepemimpinan Presiden.
”Bukan saatnya lagi Presiden beretorika dan berwacana tentang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Presiden harus bertindak sebagai eksekutif, memimpin langsung jajaran penegak hukum di bawahnya untuk menuntaskan kasus yang menjadi perhatian publik, termasuk kasus mantan pegawai pajak Gayus HP Tambunan,” katanya.
Presiden, katanya, memang tidak bisa mengintervensi dalam persidangan. Namun, Presiden tetap bisa melakukan upaya penindakan hukum yang menjadi kewenangan kepolisian dan kejaksaan secara tegas.
”Jika tahun 2009 Presiden pernah menyampaikan akan berdiri di depan dalam pemberantasan korupsi, sekarang saatnya Presiden membuktikan pernyataannya itu,” papar Mu’ti.
Pemerhati masalah kepolisian, Bambang Widodo Umar, menilai, lembaga penegak hukum di bawah eksekutif yang menangani kasus Gayus cenderung kurang konsisten dengan tugasnya. Ini terjadi karena hukum dicampuri persoalan politik. (why)
Sumber: Kompas, 10 Januari 2011