Presiden Tegakkan Antikorupsi; Tuduhan pada Paskah dan Kaban Tak Masuk Kontrak

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan menegakkan komitmen antikorupsi serta pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) seperti ditandatangani setiap menteri sebelum dilantik menjadi anggota Kabinet Indonesia Bersatu.

Memulai penegakan komitmen itu, Senin (4/8) mendatang, Presiden akan memanggil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta dan Menteri Kehutanan MS Kaban, yang disebut menerima aliran dana Bank Indonesia, saat menjadi anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Presiden ingin mendengar langsung bagaimana konstruksi fakta dan konstruksi hukum atas kasus yang melibatkan kedua menterinya itu.

Saat mendengarkan keterangan Paskah dan Kaban, Presiden akan didampingi Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto. Keterangan ini akan dipakai untuk mengambil langkah selanjutnya terkait posisi kedua menteri itu. Kontrak politik yang ditandatangani Kaban dan Paskah sebelum masuk kabinet akan dijadikan acuan.

”Salah satu agenda SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) adalah pemberantasan korupsi. Tetapi, Presiden juga memberikan kesempatan dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Adalah adil jika keduanya diberi kesempatan memberikan keterangan dan membela diri,” ujar Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat.

Andi mengemukakan, meski kasus aliran dana BI terjadi saat Paskah dan Kaban belum menjadi menteri dan menandatangani kontrak politik antikorupsi dan good governance, komitmen dan semangat kontrak politik itu akan dijunjung tinggi dan ditegakkan. ”Baru di era SBY inilah tidak seorang pun di negeri ini yang kebal hukum, termasuk anggota kabinet,” ujarnya.

Pemanggilan dilakukan karena Presiden belum ada komunikasi dengan keduanya setelah kasus aliran dana BI terungkap. Dugaan keterlibatan Paskah, Kaban, dan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 diungkapkan anggota DPR, Hamka Yandhu, saat bersaksi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Kompas, 29/7-1/8).

”Saya tidak ingin mendahului Presiden mengenai langkah selanjutnya. Selama ini belum ada keterangan kedua menteri itu kepada Presiden. Presiden mengetahui kasus itu karena mengikuti pemberitaan di media massa,” ujar Andi. Yudhoyono pernah mengganti menterinya karena diduga terkait kasus korupsi.

Tak masuk kontrak

Secara terpisah, Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, kasus aliran dana BI tak termasuk dalam komitmen kontrak politik yang pernah ditandatangani saat menjadi menteri. Dalam kontrak politik itu, siapa pun menteri harus mengundurkan diri apabila terkait dengan tuduhan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

”Apa yang disampaikan Hamka Yandhu itu sebelum mereka menjadi menteri. Jadi, tidak termasuk dalam kontrak politik itu,” kata Wapres, Jumat. Namun, apa pun yang terjadi, kontrak politik itu menyatakan, menteri tak boleh melakukan hal-hal yang bisa diduga dilanggar dalam sumpah jabatan.

”Pasti kalau mereka bersalah, Presiden mengambil tindakan. Cuma memang harus dibuktikan juga apa yang disampaikan Hamka itu,” katanya. Menurut Kalla, siapa pun tak bisa menyebutkan nama orang lain dan langsung dikenai tuduhan hukum. Itu berbahaya sekali.

Daniel dan Engelina

Sebaliknya, anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, Daniel Budi Santoso dan Engelina Pattiasina, yang disebutkan Hamka menerima dana dari BI, Jumat, membantah menerima uang melalui Dudhie Makmun Murod. Daniel menyatakan siap dikonfrontir dengan Hamka maupun Dudhie di pengadilan.

Daniel juga mengklarifikasi hal itu dengan Dudhie di depan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Dudhie menyatakan tak pernah memberikan uang kepada Daniel. Oleh karena itu, Daniel berencana menuntut balik Hamka.

Engelina secara terpisah menuturkan dirinya tiga hari lalu berkomunikasi dengan Hamka lewat telepon. Hamka pun menyanggah pernah menyebutkan nama Engelina menerima uang Rp 250 juta dari BI. Namun, Hamka mengakui menyerahkan uang itu kepada Dudhie.

Budaya politik bermoral

Praktisi hukum Frans Hendra Winarta, Jumat di Jakarta, menilai, jika benar Paskah, Kaban, dan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 menerima dana dari BI, berarti mereka melanggar etika birokrasi, sumpah jabatan, dan hukum. Karena itu, mereka seharusnya secara sukarela turun dari jabatannya atau dinonaktifkan dari jabatannya. Tidak perlu dipaksa turun.

”Budaya politik bermoral harus dilakukan agar hukum efektif dan tidak ada kendala dalam penegakannya. Jangan sampai pejabat seolah-olah kebal hukum dan ada perlakuan istimewa. Sudah bukan saatnya lagi sikap seperti itu diterapkan,” katanya.

Frans meminta Presiden Yudhoyono mengambil momentum ini untuk memperbaiki citra pemerintahan dan membuktikan agenda pemberantasan korupsi yang dikumandangkannya.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi menegaskan, jika telah diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka karena ada bukti permulaan cukup, Paskah dan Kaban harus dilepaskan dari jabatannya. Namun, partai politik juga jangan gampang menjatuhkan sanksi kepada kadernya. (INU/HAR/SUT/SON)

Sumber: Kompas, 2 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan