Presiden Jangan Beri Remisi kepada Koruptor

Presiden diminta tidak memberi remisi atau pengurangan hukuman terhadap terpidana korupsi pada perayaan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus nanti. Jika remisi diberikan, artinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingkari komitmen untuk memberantas korupsi di Indonesia.

Seruan itu disampaikan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Yudhoyono tertanggal 1 Agustus 2008. Surat itu dikirim dua hari yang lalu melalui pos.

Sekretaris KP2KKN Eko Haryanto di Semarang, Sabtu (2/8), mengatakan, setiap 17 Agustus Presiden memberi remisi kepada narapidana yang berkelakuan baik. Namun, seharusnya pengurangan hukuman itu tidak berlaku pada terpidana korupsi sebagaimana pelaku terorisme tidak mendapatkan remisi. Ini juga untuk menimbulkan efek jera pada pelaku korupsi.

”Korupsi adalah ideologi terlarang dan bahaya laten. Pada hakikatnya sama dengan kejahatan terorisme, yang pelakunya tidak berhak mendapat remisi,” kata Eko. KP2KKN juga berpendapat, korupsi adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat sehingga pemberian remisi merupakan pelanggaran HAM.

”Jika Presiden memberi remisi kepada narapidana korupsi, berarti Presiden tidak mendukung program pemberantasan korupsi. Hal itu juga berarti Presiden mengkhianati Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang pemberantasan korupsi,” kata Eko.

Permohonan ini, menurut Eko, merupakan upaya KP2KKN untuk mewacanakan penghapusan ketentuan remisi untuk kasus korupsi. Kelakuan baik yang dilakukan terpidana di sel tahanan tidak dapat menghapus kejahatan korupsi yang dilakukannya.

Sebelumnya, Presiden Yudhoyono pernah memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh pada 2007. Terpidana korupsi dana reboisasi hutan tanaman industri, Probosutedjo, juga mendapat remisi saat Hari Ulang Tahun Ke-62 RI.

Dukung dihukum mati

Dari Solo, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mendukung koruptor dijatuhi hukuman seberat-beratnya untuk menimbulkan efek jera. Bentuk hukuman itu adalah hukuman mati.

”Penting untuk menghadirkan efek jera. Salah satu efek jera itu jika menerapkan hukum yang seberat-beratnya dan secepat-cepatnya, yakni hukuman mati,” kata Hidayat seusai pembukaan Asia Pacific Regional Conference on Islamic Education di Solo, Jateng, Sabtu.

Menurut Hidayat, hukuman mati pantas untuk koruptor yang terbukti merusak tatanan hukum Indonesia dalam skala besar dan menimbulkan kerugian besar terhadap masyarakat dan keuangan negara. ”Seseorang yang dituduh korupsi, melakukan penyuapan, masih bisa tampil di sidang dengan dandanan menor, senyum sana-sini, dan dari balik penjara bisa mengatur perkara. Ini karena tidak ada efek jera dari koruptor,” katanya.

Hidayat menegaskan, hukuman mati juga harus dieksekusi secepat-cepatnya agar fungsi efek jera tidak hilang. (uti/eki)

Sumber: Kompas, 4 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan