PPATK Sebut Anggota DPR Terlibat
Suap Wisma Atlet SEA Games
Istri Nazaruddin Dicegah ke LN
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan fakta ada 5-6 orang terlibat dalam 13 transaksi mencurigakan dalam dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011.
Dari jumlah tersebut, tiga di antaranya telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Sekretaris Menpora Wafid Muharam, direktur marketing PT Duta Graha Indah Muhammad El Idris selaku kontraktor proyek, serta broker proyek Mindo Rosalina Manullang.
”Tersangkanya tiga, ada juga anggota DPR, semua jadi ada lima-enam orang (yang transaksinya mencurigakan),” ujar Ketua PPATK Yunus Husen saat bertemu dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) di kantor PPATK, Jakarta Pusat, Kamis (9/6).
Yunus juga menyebutkan, terdapat lima Laporan Hasil Analisis (LHA) dari 13 transaksi mencurigakan yang ditemukan oleh PPATK. Ada dua hingga empat perusahaan yang masuk dalam LHA tersebut.
”Perusahaan itu terkait dengan aktivitas beberapa pelaku yang merupakan pengusaha,” jelasnya
Namun, Yunus tidak bisa menyebutkan total nilai transaksi tersebut karena uang mempunyai sifat yang terus berputar. Dia juga tidak menyebut nama anggota DPR tersebut.
”Kalau menyebut nilai total, malah sesat,” jelasnya.
Wisma Atlet SEA Games 2011 dibangun di kawasan Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, dengan dana APBN senilai Rp 191 miliar. Lelang proyek ini dimenangi oleh PT Duta Graha Indah. Belakangan diketahui bahwa perusahaan itu melakukan penyuapan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Sekretaris Menpora Wafid Muharam sesaat setelah menerima cek yang diduga suap bernilai Rp 3,2 miliar dari Muhammad El Idris yang didampingi Mindo Rosalina Manullang.
Dalam pemeriksaan awal terhadap Mindo Rosalina diketahui bahwa cek itu adalah suap untuk Wafid Muharam dari Duta Graha Indah. Mindo juga menyebutkan bahwa Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin terlibat dalam kasus itu. Mindo menuding Nazaruddin menerima fee 13% dari proyek tersebut atau total Rp 25 miliar untuk dibagi-bagikan kepada rekannya di Komisi III DPR RI. Bagian Wafid ”hanya” 2% atau Rp 3,2 miliar. Diduga, uang Rp 25 miliar itulah yang peredarannya dicurigai oleh PPATK.
Nazaruddin sendiri kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai bendahara umum partai. Dia juga digeser dari Komisi III ke Komisi VII. Saat ini, Nazaruddin dilaporkan berada di Singapura untuk berobat.
Padahal, Jumat (10/6) pagi ini, pria kelahiran Simalungun 26 Agustus 1978 itu dijadwalkan diperiksa KPK dalam kasus dugaan suap proyek Revitalisasi Sarana dan Prasarana Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) yang menelan anggaran Rp 142 miliar. Dia diduga menerima suap dalam proyek tersebut.
Tidak Jamin
Partai Demokrat tidak menjamin Nazaruddin memenuhi panggilan KPK yang akan memeriksanya Jumat ini. ”Partai Demokrat tidak bisa menjamin Nazaruddin akan datang memenuhi panggilan KPK,” kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR M Jafar Hafsah di Gedung MPR/DPR/ DPD RI, Jakarta, Kamis.
Jafar mengaku sudah menghubungi lagi Nazaruddin melalui telepon selulernya kemarin, tetapi belum mendapat jawaban.
Namun dia yakin Nazaruddin sudah mengetahui ada panggilan KPK dari pemberitaan media online, karena bendahara Fraksi Partai Demokrat itu selalu mengikuti perkembangan informasi di Indonesia. ”Kami belum tahu apakah Nazaruddin akan datang atau tidak, kami tidak bisa memberikan jaminan,” katanya.
Menurut dia, KPK yang memanggil, sedangkan Partai Demokrat sebatas memberi dukungan dengan berusaha membujuk Nazaruddin segera kembali ke Jakarta.
Pada pertemuan antara tim penjemput dari Partai Demokrat dengan Nazaruddin, di Singapura, Kamis (3/6), diungkapkan bahwa mantan bendahara umum Partai Demokrat itu menyatakan masih menjalani pengobatan karena menderita penyakit jantung. Namun jika ada panggilan dari KPK, dia berjanji hadir ke Jakarta.
Karena itu, kata Jafar, ketika ada panggilan dari KPK, pimpinan Fraksi Partai Demokrat berinisiatif menghubungi Nazaruddin melalui telepon selulernya, tetapi belum ada jawaban.
Nazaruddin berangkat ke Singapura pada 23 Mei dengan alasan ingin berobat. Dia sebenarnya sudah dicekal oleh KPK, namun pencekalan baru dilakukan sehari setelah dia pergi, yakni 24 Mei.
Jafar menegaskan, PD tidak dapat memaksa Nazaruddin untuk memenuhi panggilan tersebut. Baik fraksi maupun partai hanya dapat memberi himbauan.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jhonny Allen Marbun yang menyatakan pihaknya tidak mengetahui perihal pemanggilan Nazaruddin oleh KPK.
”Saya tidak tahu itu. Itu tugas KPK. Urusan hukum, kami tidak pernah ikut campur. Hukum itu urusan individu, bukan urusan lembaga atau komunitas,” tegasnya.
Sementara itu Ketua Komisi VII, Teuku Rifky Harsya, mengaku telah menerima surat dari KPK terkait pemanggilan Nazaruddin. Surat tersebut diterima oleh sekretariat Komisi VII Selasa (7/6) sekitar pukul 15.00.
”Betul, (surat) sudah diterima 7 Juni, sore hari, dalam bentuk amplop coklat tertutup,” jelasnya.
Pada hari yang sama, sekretariat Komisi VII langsung meneruskan surat tersebut ke sekretariat Fraksi Partai Demokrat. Rifky mengaku tidak mengetahui isi dari surat tersebut.
”Karena yang bersangkutan belum pernah hadir (di Komisi VII), maka surat diserahkan kepada Fraksi Partai Demokrat,” katanya.
Istri Dicekal
Selain menjadwalkan memeriksa Nazaruddin, pada Jumat (10/6) ini KPK juga mengagendakan pemeriksaan terhadap istrinya, Neneng Sri Wahyuni, terkait suap dalam proyek Pembangunan Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans).
KPK sudah mencegah istri Nazaruddin, Neneng, berpergian ke luar negeri. Namun Imigrasi belum mengetahui posisi terakhir Neneng.
”Waduh, saya belum cek itu, dia ada di Indonesia atau di mana. Nanti akan kita cek posisinya,” kata Sesditjen Imigrasi, Muhammad Indra, saat ditemui di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (9/6).
Padahal, Neneng sudah dicegah ke luar negeri terhitung sejak 31 Mei 2011 untuk jangka waktu setahun. Surat pencegahan dari KPK itu bernomor KEP-244/01/V/2011 Surat Ditjend Imi.5.GR.02.06-3.20432.
Pencegahan Neneng tersebut hanya berselang satu pekan setelah Nazaruddin dilarang meninggalkan Tanah Air pada 24 Mei lalu.
Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, Neneng diduga menerima sejumlah uang dari proyek pengadaan PLTS tersebut. Namun, untuk total nilai proyek secara keseluruhan, dia mengaku lupa. ”Kalau nggak salah itu tahun 2008 atau 2010,” katanya. (K32,J22-43)
Sumber: Suara Merdeka, 10 Juni 2011