Politisi Busuk Wujud Kontaminasi Politik

Sebuah gerakan nasional tidak memilih politisi busuk (Ganti Polbus) dideklarasikan di Tugu Proklamasi beberapa waktu lalu. Gagasan itu dimotori beberapa NGO seperti JPPR, ICW, KIPP, Formapi dan Cetro. Gerakan tersebut sudah lama dilakukan. Muncul sejak 2003.

Sebuah gerakan nasional tidak memilih politisi busuk (Ganti Polbus) dideklarasikan di Tugu Proklamasi beberapa waktu lalu. Gagasan itu dimotori beberapa NGO seperti JPPR, ICW, KIPP, Formapi dan Cetro. Gerakan tersebut sudah lama dilakukan. Muncul sejak 2003.

Ganti Polbus membuat sejumlah kriteria tentang politisi busuk. Ciri-ciri politisi busuk, antara lain, adalah terlibat KKN, pernah melanggar HAM pada masa lalu, perusak hutan, dan mangkir dari tugasnya di legislatif.

Gerakan itu membuat gerah politisi di Senayan. Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Ketua DPR Agung Laksono mengingatkan agar Ganti Polbus tidak gegabah menyebut nama dan lebih fokus pada kriteria (Jawa Pos, 25/5/08). Para politisi gerah karena citra mereka akan rusak bila masuk kategori politisi busuk.

Meskipun akan dimusuhi politisi, kehadiran gerakan itu dibutuhkan untuk menjadi alat kontrol dan instrumen bagi masyarakat guna menyampaikan keberatan atas calon anggota legislatif dari suatu partai politik. Paling tidak, sejak awal telah ada filter dari masyarakat karena mekanisme pencalonan seseorang yang akan menduduki kursi parlemen sangat tertutup, prosesnya hanya diketahui oleh petinggi partai politik.

Sebagai alat kontrol, kehadiran Ganti Polbus menjadi signifikan apabila dapat mendorong partai-partai politik melakukan rekrutmen secara transparan. Di sisi yang lain, gerakan tersebut akan memiliki arti apabila kriteria yang disebutkan memiliki kekuatan hukum. Sayang, UU No 10/2008 tentang Pemilu tidak mengadopsi persyaratan para wakil rakyat yang buruk dan cacat moral.

Ada gejala orang-orang yang kotor pun dapat duduk di parlemen bila dekat dengan petinggi parpol. Sebab, tidak ada syarat secara perundang-undangan yang melarang itu.

Sejumlah Faktor
Dalam terminologi politik baku, istilah politisi busuk dapat dicarikan penjelasannya melalui istilah yang pernah diperkenalkan Samuel Hungtinton sebagai political decay (peluruhan/kerusakan politik). Peluruhan politik sebagai sebuah gejala rusaknya sistem politik karena tindakan-tindakan yang negatif para aktor politik seperti korupsi dan sejumlah tindakan lain yang tidak bermoral.

Kerusakan politik terkait sejumlah faktor. Pertama, faktor sistem dan lemahnya negara. Biasanya, ciri-ciri kerusakan politik disebabkan faktor itu. Negara yang lemah menjadi salah satu penyebab lahirnya praktik-praktik penyimpangan dan salah satu di antaranya adalah masalah korupsi yang sistemik.

Ciri itu ditandai adanya peluang sistem politik untuk terjadinya korupsi berjamaah dan penyimpangan dalam bentuk lain. Sistem politik yang lemah, khususnya tidak adanya transparansi tanggung jawab politik para politisi, menjadi penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

Kedua, negara-negara yang mengalami transisi dari sistem otoritarian ke demokrasi kerap menghadapi persoalan pembusukan politik. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami transisi itu. Ciri-ciri pembusukan politik itu jelas. Yakni, aktor-aktor politik (politisi) larut oleh kepentingan sendiri. Menguras uang negara untuk kelompoknya, bukan berorientasi untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat.

Ketiga, transisi politik di Indonesia -setelah 10 tahun reformasi- tidak melahirkan kelompok reformasi yang kuat, tetapi terserak. Dampaknya, kompromi politik dengan kekuatan lama terus terjadi. Dengan demikian, upaya untuk membersihkan politik dari kepentingan rezim dan kekuatan lama sulit terjadi. Kontaminasi politik itu menjadi salah satu akar tunjang tanda-tanda kerusakan politik.

Keempat faktor perilaku pemilih sendiri. Perilaku pemilih yang menjual hak pilihnya dengan imbalan adalah lingkungan yang justru menyuburkan lahirnya politisi busuk. Politisi yang terpilih bukan karena kemampuan, tetapi uang.

Politik di Indonesia mengharuskan modal politik yang besar bagi politisi. Tanpa modal, tidak mungkin seorang politisi dapat terpilih karena memang faktor lingkungan juga mengharuskan demikian.

Karena itu, lingkungan menjadi salah satu penyebab terjadinya proses akumulasi modal yang dilakukan para politisi dalam bentuk rente, yang ini juga berujung pada lahirnya money politics dalam pemilu (pemilihan umum dan pilkada).

Seruan Moral
Sebagai seruan moral, Ganti Polbus adalah cermin kekecewaan publik atas praktik politik para politisi yang jauh dari perjuangan untuk rakyat memilih. Lemahnya kontrol konstituen terhadap wakilnya di legislatif adalah salah satu penyebabnya. Wakil-wakil rakyat lebih asyik dengan dunianya sehingga dia teralienasi dari para pemilihnya.

Akuntabilitas wakil rakyat yang rendah itu menjadi salah satu indikator kegagalan sistem perwakilan yang kita anut. Tak ada kewajiban bagi wakil untuk bertanggung jawab ke pemilihnya. Kelemahan sistem perwakilan kita ialah perwakilan yang tak memiliki tanggug jawab dan tanggung gugat terhadap pemilih.

Selama ini wakil rakyat hanya takut dan bertanggung jawab terhadap partai dan tidak memiliki ikatan kepada konstituen. Posisi konstituen semakin lemah oleh masih berlakunya sistem recalling partai politik. Konstituen hanya dibutuhkan untuk memilih, setelah itu para politisi cenderung go to hell, jalan dengan kemauan dan kepentingannya sendiri.

Untuk mengatasi kelemahan itu, idealnya secara peraturan perundang-undangan ada tanggung jawab wakil terhadap yang diwakili. Sayang, UU paket politik yang sebagian telah ditetapkan tidak memiliki semangat itu. Dampaknya, praktik politik di parlemen ke depan tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Artinya, politisi tetap tidak dapat di kontrol dan tidak ada jaminan bahwa yang duduk adalah wakil-wakil yang baik moralnya.

Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 29 Mei 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan