Politik Uang dalam Pilkada, Boros dan Tak Kreatif
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, indikasi korupsi menjelang pemilihan kepala daerah terjadi karena para calon yang berkompetisi menggunakan money politic untuk memikat masyarakat. Mereka memiliki struktur tim khusus hingga tempat pemungutan suara untuk memudahkan pembagian uang atau barang dan mengontrol siapa saja yang menerima.
"Politik uang dilakukan hampir oleh semua calon pasangan. Bahkan hingga H-1 menjelang pemungutan suara, calon menyebar uang dan sembako," jelas aktivis ICW, Ade Irawan, di kampus Paramadina, Jakarta, Selasa (14/2/2012).
Dalam catatan ICW, setidaknya ada tujuh cara berpolitik uang dalam pilkada. Selain pembagian uang secara langsung, cara itu juga dilakukan dengan membagikan bahan-bahan kebutuhan pokok, mi instan, maupun ikan. Pemberian kerudung, sajadah, helm, dan bentuk pakaian yang lain juga kerap dilakukan untuk menyasar warga calon pemilih.
Selain pemberian langsung kepada warga, cara lain ditempuh dengan memberikan uang pada kepala desa ataupun uang untuk pembuatan tempat pemungutan suara dan tempat ibadah. Cara terselubung lainnya dilakukan melalui pengobatan gratis, pemberian insentif kepada tokoh masyarakat dan agama, serta mentraktir makan warga secara massal.
Menurut praktisi Public Relation dari Paramadina, Silih Agung Wasesa, politik uang dan pemborosan uang oleh para calon kepala daerah terjadi karena para politisi cenderung tidak kreatif. Mereka menggunakan cara tradisional yang justru membuat masyarakat bosan. Itu pun belum tentu terpilih setelah mengeluarkan banyak uang.
"Mereka kurang kreatif, bikin acara kampanye, bayar panggung, bayar artis, bayar juga orang yang datang biar senang ikut acara kampanyenya. Jadinya, semakin banyak uang yang keluar," ujar Silih.
Silih berpendapat, seharusnya para calon kepala daerah belajar menarik minat masyarakat dengan melihat aksi para pembuat acara komersial di media. Mereka dapat membuat acara dengan pengeluaran sedikit, tapi bisa mendatangkan warga dalam jumlah besar.
"Lihat saja perusahaan-perusahaan komersial, mereka bisa membuat acara dengan biaya terjangkau dan banyak orang menyukai. Kalau politisi-politisi kita kan enggak begitu," ujarnya.
Maria Natalia | Laksono Hari W | Selasa, 14 Februari 2012 | 17:42 WIB