PK Jaksa Dipersoalkan
UNDANG-UNDANG (UU) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) melarang jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Terlebih, kalau PK tersebut diajukan atas putusan bebas. Demikian kesimpulan yang dapat diambil dalam diskusi yang bertajuk Peninjauan Kembali dalam Tata Hukum Indonesia di Jakarta, Selasa (23/6).
Menurut Ketua Komisi Ombudsman Nasional Anton Suyata, Pasal 1 ayat (12) KUHAP menegaskan, PK hanya dapat diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya. Sebagai keseimbangan dan keadilan, jaksa sebagai penuntut umum juga diberikan hak untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
"Disebutkan juga, dalam putusan bebas dan lepas dari tuntutan, tak bisa dimintakan PK. Itu sistem yang diatur KUHAP," kata mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ini.
Yang menjadi persoalan kemudian, PK jaksa dalam beberapa perkara pidana belakangan ini diajukan atas perkara-perkara bebas, seperti perkara Syahril Sabirin, Pollycarpus, dan Muchtar Pakpahan. "Jadi, salahnya dua kali kalau begitu. Kalau jaksa bisa PK, jadi tak seimbang lagi," kata Anton.
Terkait itu aktivis buruh Muchtar Pakpahan menilai, PK oleh jaksa merupakan kecelakaan hukum secara nasional. Menurut dia, pada tahun 1995 PK digunakan jaksa atas perintah Presiden Soeharto untuk memenjarakan dirinya.
Dia yang divonis bebas oleh kasasi MA atas kasus pidana demo buruh di Medan, Sumatera Utara, akhirnya divonis bersalah oleh putusan PK. "Pak Harto tak terima, lalu memerintahkan jaksa untuk PK. Itu PK pertama oleh jaksa, dan itu dilarang oleh KUHAP," kata Pakpahan. Menurut dia, larangan PK oleh jaksa juga diatur dalam UU 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dalam kesempatan diskusi tersebut Anton Suyata juga mengatakan, ada ketentuan bahwa PK tak boleh memutuskan vonis lebih dari hukuman dalam putusan sebelumnya. Hal senada disampaikan anggota Komisi Yudisial Sukotjo Suparto.
"Putusan PK itu mestinya hanya menerima atau menolak," kata dia.
Tapi dalam kenyataannya, tak demikian. Pollycarpus, misalnya. Dia divonis 14 tahun di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Lalu, diputus bebas di tingkat kasasi MA. Yang dia persoalkan, PK menambah vonis itu menjadi 20 tahun. Sedangkan dalam perkara Tommy Soeharto, PK mengurangi hukuman.
Hal yang sama terjadi dalam perkara Djoko S Tjandra dan Syahril Sabirin. Terpidana kasus cessie Bank Bali ini masing-masing divonis dua tahun, setelah sebelumnya diputus bebas oleh kasasi MA.
Kalau sudah begitu, Anton memberikan solusi, terpidana dapat mengajukan PK atas putusan kasasi MA, juncto PK. Sedangkan Sukotjo menyarankan, agar terpidana mengajukan PK atas PK yang telah memidanakannya.[by : Abdul Razak]
Sumber: Jurnal Nasional, 24 Juni 2009