Pilih Capim KPK, DPR Harus Dengar Aspirasi Rakyat
Mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan, permasalahan yang sering muncul dalam pemilihan pimpinan KPK yang diseleksi oleh DPR adalah sering terjadinya deal politik, di Komisi III DPR. Dalam pemilihan pejabat publik, termasuk pimpinan KPK, DPR acap kali menggunakan sistem paket kandidat yang nantinya menjadi bahan untuk melobi oleh satu fraksi ke fraksi lainnya.
“Di sanalah masalahnya, ada proses take and give dari proses pemilihan capim KPK. Komisi III bukannya memilih yang terbaik, tapi memilih mana yang ‘cocok’,” ujarnya saat dihubungi antikorupsi.org
Abdullah menegaskan, Indonesia Corruption Watch (ICW), pers, dan masyarakat sipil harus terus melakukan pemantauan dan deteksi jika ada pertemuan untuk mencapai ‘kesepakatan politik’ yang dilakukan bakal calon pimpinan KPK anggota DPR Komisi III atau elit partai politik) ataupun sebaliknya. Menurutnya, untuk mengurangi praktek lobi, dibutuhkan hukuman jika inisiatif kesepakatan datang dari kandidat, yakni didiskualifikasi. Sedangkan jika ‘kesepakatan’ itu merupakan inisiatif fraksi atau DPR, maka hal itu menjadi ranah penegak hukum.
Ia menambahkan, jika Komisi III DPR tetap memilih calon yang tidak memiliki integritas dan bermasalah,maka masyarakat patut memberikan sanksi moral yang menjadi tamparan keras bagi partai politik atau anggota DPR dengan cara tidak memilihnya kembali pada pemilu legislatif mendatang. “Jika terjadi penyimpangan masyarakat bisa tidak memilih bakal calon kepala daerah yang dicalonkan dari parpol yang bermasalah,” tegasnya.
Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menyatakan, pemilihan capim KPK merupakan momentum yang tepat bagi DPR untuk mengubah metode seleksi pejabat publik dari kentalnya preferensi politik,menjadi lebih mengutamakan kompetensi, kredibilitas, integritas, dan aspek positifnya. “Maka pemilihan capim KPK di DPR harus terbuka, partisipatif, dan dapat dipertangungjawabkan, “ ujarnya.
Dia menegaskan, pemilihan capim KPK di Komisi III dapat dilakukan dengan sistem one man one vote yang terbuka. Hal ini penting guna menjadi bentuk tanggung jawab DPR sebagai wakil rakyat dalam memilih capim KPK. “Jadi satu anggota DPR anggota Komisi III dapat memilih satu calon bukan dengan sistem paket. Jadi ketahuan anggota Komisi III memilih calon yang mana,” tegasnya.
Sementara itu peneliti Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, menegaskan bahwa DPR harus menggunakan rekam jejak masing-masing calon sebagai alat ukur. Jika variabel tersebut digunakan, maka calon yang akan dipilih linier dengan ekspektasi publik.
Namun demikian, jika DPR tetap memilih capim KPK yang bermasalah maka hal itu akan menjadi bumerang bagi DPR itu sendiri. “Saat KPK menjadi alat politik partai tertentu, kredibilitas partai pengusung calon juga akan jatuh di mata publik,” ucap Erwin.
Oleh karena itu, dirinya mendesak DPR agar dapat membuka semua data dan hasil seleksi di pansel guna menjawab keraguan publik. “Sampai sekarang saja masih timbul pertanyaan, kenapa kandidat yang bermasalah dan tidak ada jejak rekam yang baik masih bisa lolos di tahap akhir,” kritiknya.