Petinggi BI Coba Redam Skandal Rp 100 Miliar

Lobi dilakukan dari jam kantor hingga waktu makan Malam.

Para petinggi Bank Indonesia telah berupaya meredam skandal dana Rp 100 miliar jauh-jauh hari sebelum kasus itu meledak ke permukaan. Hal itu terungkap dalam keterangan sejumlah saksi, baik di depan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi maupun di persidangan.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution, misalnya, menjelaskan akal-akalan para petinggi BI saat diperiksa KPK pada 14 Februari 2008. Tempo memperoleh salinan berita acara pemeriksaan tersebut.

Menurut Anwar, para petinggi BI menemui dirinya dalam berbagai kesempatan. Mereka meminta BPK tidak memperpanjang hasil audit berkaitan dengan penarikan dana Rp 100 miliar oleh BI dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia.

Gubernur Burhanuddin Abdullah, yang kini ditahan, pernah dua kali mendatangi Anwar di kantor BPK, yaitu pada 5 Juli 2005 dan 1 juni 2006. Pada kedua pertemuan itu, Anwar mengaku mengatakan, "Saya tak bisa menutup-nutupi temuan itu."

Pada 18 Agustus 2005, sejumlah pejabat BI menemui Anwar di rumahnya pada acara makan malam. Yang datang antara lain Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dan Deputi Direktur Hukum Oey Hoey Tiong. Mereka pun meminta penyelesaian hasil pemeriksaan BPK berkaitan dengan YPPI. "Sekali lagi saya tegaskan itu harus diselesaikan sesuai dengan hukum dan sistem akuntansi BI," kata Anwar dalam dokumen.

Yang menggelisahkan petinggi BI adalah hasil audit BPK atas laporan Keuangan BI tahun 2004. Saat itu, kata Anwar, BPK menyimpulkan adanya penyimpangan yang berindikasi pidana pada penarikan dan penggunaan dana dari kas YPPI oleh BI.

BPK mempersoalkan penggunaan dana Rp 100 miliar yang mestinya dipakai untuk mendidik ahli perbankan. Sekitar Rp 31,5 miliar dana itu mengalir ke Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat. Sisanya, Rp 68,5 miliar, mengucur kepada bekas pejabat BI yang terbelit kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

Karena jalur lobi tak mempan, pada 5 Desember 2006, BI mengirim surat kepada BPK. Menurut Anwar, surat rahasia itu intinya menyebutkan bahwa BI telah menyelesaikan kasus ini dengan cara menyerahkan sebidang lahan di Kemang ke YPPI. Pada saat yang sama, BI menyebutkan para pejabat BI yang menerima uang telah diminta mengembalikan dana YPPI.

Saat diperiksa penyidik KPK, Bekas Direktur BI Hendrobudiyanto membenarkan bahwa bantuan untuk pejabat BI diubah menjadi piutang. Menurut Hendro, dirinya bersama Paul Sutopo diminta membuat surat pengakuan utang pada 29 November 2006. Itu dilakukan di ruang kerja Deputi Gubernur BI Bun Bunan Hutapea.

Rupanya, para bekas pejabat BI yang menerima uang YPPI tidak mau begitu saja mengembalikan uang. Bekas Gubernur BI Sudradjad Djiwandono, misalnya, mengaku mengetahui uang Rp 25 miliar yang dia terima adalah bantuan yang tak perlu dipertanggungjawabkan.

Keberatan Sudradjad terungkap dalam surat dia kepada pejabat BI yang ditemukan jaksa KPK dalam komputer milik Sudradjad. "Seandainya saya tahu ini adalah pinjaman murni, saya tak akan berani menerimanya," begitu bunyi surat yang dibacakan oleh jaksa Rudi Margono dalam persidangan kemarin. Sudradjad pun menyatakan dirinya tak bakal mampu membayar utang itu.

"Kalau memang berasal dari notebook saya, mestinya benar," ucap Sudradjad saat ditanya mengenai kebenaran surat itu. JAJANG | DIAN YULIASTUTI | FAMEGA SYAFIRA

Sumber: KORAN TEMPO, 14 Agustus 2008

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan