Perubahan Iklim, Korupsi, dan Pemiskinan
Perubahan iklim tanpa bisa dielakkan telah hadir dan mengancam siapa saja di muka bumi. Namun, yang paling miskinlah yang paling rentan terdampak. Di Indonesia, dampak perubahan iklim ini diperparah oleh korupsi yang bisa membajak daya adaptasi masyarakat.
Meningkatnya kejadian banjir, kekeringan, badai, naiknya muka air laut, ledakan serangan hama, hingga penyebaran berbagai penyakit hanyalah sebagian contoh dari dampak perubahan iklim yang telah hadir itu. Laporan Global Humanitarian Forum (The Anatomy of Silent Crisis, 2009) menyebutkan, perubahan iklim telah menyebabkan kematian 300.000 orang dan berdampak pada hidup 325 juta orang.
Kajian Oxfam (Climate Alarm: Disaster Increase as Climate Changes Bites, 2007) menyebutkan, perbandingan ”kematian akibat bencana” jauh lebih besar di negara dan komunitas miskin dibandingkan dengan negara kaya.
Kenapa kalangan miskin yang lebih rentan terdampak? Masyarakat miskin di kota dipaksa hidup di kawasan rawan longsor, di bantaran sungai yang sering dilanda banjir, atau di tepi laut yang tak aman dari terjangan gelombang pasang bahkan tsunami, serta di lingkungan yang paling tercemar dan langka air bersih. Mereka juga tak mudah mengakses layanan kesehatan dan obat-obatan di tengah ledakan penyakit menular.
Bagi Indonesia yang dua pertiga warga miskinnya tinggal di pedesaan dan mengandalkan hidup sebagai petani, cuaca ekstrem menyebabkan penurunan produksi pertanian. Padahal, petani tidak mendapat asuransi atas kegagalan panen maupun akses modal untuk berusaha pada musim tanam berikutnya.
Data (Rizaldi Boer, 2003) menunjukkan, hilangnya produksi padi akibat kejadian iklim ekstrem pada periode 1981-1990 adalah sekitar 100.000 ton per tahun per kabupaten, meningkat menjadi 300.000 ton pada periode 1991-2000. Seorang panelis meramalkan, pada tahun 2050 terjadi defisit gabah kering sebesar 60 juta ton, dengan asumsi tidak ada penambahan lahan atau pengurangan konsumsi per kapita.
Sedangkan warga miskin dari kalangan nelayan menghadapi tingginya intensitas badai dan ketidakpastian cuaca. Data (KIARA, 2010) selama Januari-September 2010, sebanyak 68 nelayan tradisional hilang di laut karena cuaca ekstrem. Selama periode awal hingga pertengahan Januari 2011, sudah 20 nelayan yang hilang di laut.
Ketidakadilan
Para panelis mengingatkan, kemiskinan bukan hadir begitu saja. Dia tercipta dari sistem ekonomi-politik, global maupun lokal, yang tidak adil. Seorang panelis memberi contoh ekstrem dengan memaparkan fakta masyarakat miskin di Tanjung Priok, Jakarta Utara, harus membayar air bersih yang dibeli dari pengecer dengan harga jauh lebih mahal dibandingkan dengan masyarakat kaya di perumahan mewah yang membeli air dari Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta.
Demikian halnya, perubahan iklim bukanlah pemberian begitu saja dari alam. Kerusakan ekologis ini terjadi karena peningkatan emisi gas karbondioksida (CO). Mereka yang paling banyak mengeluarkan CO adalah kalangan kaya dari negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Australia, Singapura, Jepang, dan negara-negara Eropa.
Namun, mereka yang menjadi sumber utama pemanasan global ini cenderung mengelak dari tanggung jawab. Kini, mereka nyaris sukses memaksakan diktum baru pascaprotokol Kyoto bahwa negara-negara miskin dan berkembang adalah juga penghasil emisi rumah kaca yang sama besar beban dan kewajibannya dengan negara-negara industri maju (Hira Jhamtani, 2008).
China, yang tumbuh menjadi negara industri baru, selalu dijadikan alasan negara maju untuk mengelak dari tanggung jawab itu. Padahal, negara-negara berkembang berpenduduk terbesar di dunia (Cina, India, dan juga Indonesia) hanya menghasilkan emisi CO antara 1,2-2,7 metrik ton per kapita. Bandingkan, misalnya, dengan Singapura (13,8), Kanada (16,5), Australia (18,3), dan yang terbesar adalah Amerika Serikat (20,2).
Dengan memaksakan diktum baru itu, perbincangan soal transfer teknologi bersih dan bantuan dana adaptasi dari negara maju ke negara berkembang menjadi semakin sunyi. Kalah riuh oleh diskusi soal perdagangan karbon yang mencerminkan sikap business as usual. Keadilan iklim yang disuarakan gerakan masyarakat sipil juga tidak menjadi arus utama dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC).
Kondisi ini semakin memperjelas bahwa praktik adaptasi terhadap perubahan iklim masih juga menganut teori lama tentang survival of the fittest; yang kuat, yang menang. Teori ini mengandung makna, jika 1,7 miliar masyarakat miskin di seluruh belahan dunia—termasuk 31 juta penduduk miskin di Indonesia—tidak mampu bertahan menghadapi perubahan iklim adalah salah sendiri dan karena itu ”layak punah”.
Bencana ganda
Di tengah ketidakpastian soal keadilan iklim dan strategi adaptasi, korupsi menjadi daya rusak yang semakin menumpulkan kesanggupan negara miskin dan berkembang menghadapi perubahan iklim. Kombinasi data (UNFCC dan TI, 2010) menunjukkan, hampir semua negara rentan terdampak dan paling membutuhkan bantuan adaptasi memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di bawah 3,5 (dari skala 10).
Negara dengan IPK terendah adalah Somalia, yaitu 1,1, diikuti Myanmar dengan nilai 1,4 dan Afganistan juga 1,4. Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan yang sangat rentan terdampak, memiliki IPK 2,8 atau peringkat ke-110 dari 178 negara yang disurvei.
Birokrasi di negara berkembang dan miskin, yang dibusukkan oleh korupsi, hanya berpikir tentang proyek-proyek yang bisa dibajak daripada serius memikirkan strategi adaptasi untuk rakyatnya.
Indonesia, misalnya, terlihat lebih antusias membicarakan skema Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) karena adanya janji uang dari para pedagang karbon dibandingkan dengan menyiapkan strategi adaptasi. Padahal, REDD+ juga bisa dibaca sebagai siasat negara maju. Daripada mengubah gaya hidup agar lebih ramah lingkungan, mereka justru menawarkan sedikit uang kepada negara berkembang asalkan mau melestarikan hutan yang tersisa.
Realisasi meningkatkan adaptasi petani melalui pengadaan sekolah lapang iklim supaya informasi iklim mudah diakses petani, penyebaran penyuluh pertanian yang mengerti soal perubahan iklim, konsolidasi tanah, koperasi petani, teknologi baru, dan akses pendanaan masih jauh dari harapan. Demikian halnya, tak ada tanda-tanda yang lebih baik yang dilakukan untuk menyiapkan nelayan tradisional dan masyarakat miskin kota menjadi lebih digdaya menghadapi perubahan iklim.
Seorang panelis mengingatkan, inilah saat seluruh gerakan sipil untuk kembali ke masyarakat. Karena setelah gempita reformasi tahun 1998, banyak aktivis yang menyeberang ke pusat kekuasaan, namun ternyata gagal membawa perubahan. Kini, rakyat ditinggal sendirian untuk menghadapi serangan ganda dari birokrasi yang dibusukkan korupsi dan perubahan iklim.
Sumber: Kompas, 10 Maret 2011