Perpu Korupsi Jangan Hanya Jadi Simbol

Niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Percepatan Pemberantasan Korupsi adalah niat baik untuk memerangi korupsi di Tanah Air. Namun hendaknya, Perpu itu tak hanya dijadikan simbol bahwa Presiden serius memberantas korupsi. Perpu tak punya arti apa-apa ketika kekuasaan tak mampu menegakkannya.

Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata dan praktisi hukum Kamal Firdaus yang dihubungi terpisah di Jakarta, Rabu (5/1), mengemukakan, semangat yang terkandung dalam Perpu itu bagus. Tetapi, yang menjadi pertanyaan, masalah dalam pemberantasan korupsi itu terletak di bidang perundang-undangan atau pada aparat penegak hukumnya itu sendiri, kata Kamal yang meragukan Perpu itu efektif tanpa ada pembenahan aparat penegak hukum secara radikal.

Sebagaimana dikatakan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, draf Perpu percepatan pemberantasan korupsi sudah siap. Substansi baru yang diakomodasi Perpu adalah soal akan ditahannya tersangka korupsi sejak ia dinyatakan sebagai tersangka sampai keluarnya putusan MA.

Akan ditahannya seseorang sejak dinyatakan sebagai tersangka hingga diputuskan MA dilatarbelakangi banyaknya tersangka kasus korupsi yang melarikan diri ketika putusan MA itu dijatuhkan. Ketika ada putusan MA, pelaku korupsi itu bisa tiba-tiba hilang. Dengan Perpu itu, sejak disidik, ia sudah harus ditahan sampai ada putusan hukum tetap dari MA dia tak boleh keluar dari tahanan, kata Hamid (Kompas, 4/1).

Jika kejadian itu yang menjadi latar belakang, kata Kamal, yang harus dibenahi lebih dahulu adalah aparat penegak hukum. Dari pemberitaan media massa tampak bahwa kaburnya Sudjiono Timan dikarenakan keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum. Mereka sudah diperiksa, tetapi bagaimana hasilnya tak ada orang yang tahu, kata Kamal seraya menambahkan, Yang jadi masalah justru terjadi korupsi dalam pengungkapan kasus korupsi. Itulah judicial corruption.

Hal senada disampaikan Antonius Sujata. Kalau hendak menahan seseorang tersangka kasus korupsi bisa saja dilakukan. KUHAP memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum menahan seseorang tersangka kasus korupsi. Masalahnya, mengapa kewenangan itu tak digunakan. Atau kalau digunakan hanya selektif dan tidak konsisten.

Kamal tak menolak rencana Yudhoyono menerbitkan Perpu meski ia hanya meragukan efektivitasnya. DPR pun diperkirakan tak akan menolak Perpu itu. Tetapi, saya melihat kita kehilangan akal sehingga terus memproduksi atau lembaga baru yang bertugas memerangi korupsi tetapi tak melihat kondisi riil aparatnya, kata Kamal.

Sudah mencukupi
Sujata mengemukakan, perangkat hukum untuk memberantas korupsi sebenarnya sudah mencukupi hanya aplikasi dan implementasi undang- undang itu yang amat kurang. Meski tak menolak hadirnya Perpu, Sujata menilai penerbitan Perpu itu terlalu berlebihan.

Menurut Sujata, yang pernah menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi, pemberantasan korupsi mencakup dua hal, yakni pencegahan dan represi. Dari sisi represi, termasuk penahanan tersangka korupsi sudah mencukup dengan hadirnya lembaga, seperti Polri, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi itu dikeroyok tiga lembaga. Kalau mereka semua serius, saya pikir tak ada masalah, ujarnya.

Yang menjadi kritik dari masyarakat adalah pemberantasan korupsi yang dilakukan baru menyentuh kasus-kasus korupsi kecil, sementara perkara korupsi besar yang terjadi dalam penyaluran Batuan Likuiditas Bank Indonesia, privatisasi tak tersentuh.

Hal lain yang terlupakan adalah pendekatan represif amat menonjol, sementara pendekatan preventif justru tidak tampak sosoknya. Padahal, upaya preventif untuk membersihkan pengurusan KTP, SIM, dan IMB dari uang suap akan lebih banyak bermanfaat bagi rakyat kebanyakan, ungkap Sujata. (bdm)

Sumber: Kompas, 6 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan