Perlukah PKS Kemendagri-Kejagung-Polri?

Foto: Tirto.id
Foto: Tirto.id

Pada 28 Februari 2018, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam rangka menangani pengaduan masyarakat terkait indikasi korupsi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Banyak yang mempertanyakan  relevansi PKS ini mengingat terdapat aturan serupa yaitu dalam Inpres No.1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan  UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan?

Inpres 1/2016 diteken Presiden Jokowi dalam rangka mempercepat dan memberi dukungan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Salah satu pokok pikiran dalam Inpres itu adalah mendahulukan proses Administrasi Pemerintahan dalam melakukan pemeriksaan dan penyelesaian atas laporan penyalahgunaan wewenang. Jadi Inpres ini melegalkan diskresi para menteri ataupun kepala daerah untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional tanpa khawatir ada kriminalisasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan.

Bahkan Inpres membuka ruang diskresi untuk mencabut atau mengganti peraturan selama untuk kepentingan terlaksananya proyek strategis nasional. Selain itu, Inpres ini juga mengamanatkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) berkoordinasi dengan Jaksa Agung, Kapolri, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) untuk menyusun ketentuan mengenai tata cara (SOP) pemanggilan dan pemeriksaan pejabat/pegawai Pemerintah, pejabat pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau badan usaha, oleh Kejaksaan dan Polri atas laporan kasus penyimpangan dalam percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional.

Adapun UU 30/2014 diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan maksud salah satunya memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan dalam hal penggunaan diskresi yang bisa menimbulkan akibat hukum dan berpotensi membebani keuangan negara.

Bercermin pada dua aturan tersebut, Inpres dan UU 30/2014, PKS tak lagi relevan untuk dilaksanakan. Celakanya PKS ini kemudian menjadi polemik karena Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Ari Dono Sukmanto menyampaikan pernyataan yang substansinya tak tercantum dalam PKS. Kabareskrim menegaskan akan menghentikan kasus dugaan korupsi jika uang hasil korupsi dikembalikan ke kas negara.

Tentu harus diapresiasi jika PKS merupakan wujud komitmen bersama mengakselerasi penindakan dan pencegahan korupsi. Tetapi jika dimanfaatkan untuk menyelamatkan tersangka karena dianggap telah mengembalikan keuangan negara tentu pemerintah sama saja sedang berkongsi dengan dengan para koruptor.*** (Dewi/Agus) 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags