Perkuat Kelembagaan Antikorupsi

Penguatan kelembagaan antikorupsi menjadi tema utama pidato kenegaraan Presiden SBY di Gedung DPR/ MPR, Senin lalu, dalam komitmen pemerintahannya untuk terus meningkatkan upaya pemberantasan korupsi.

Lembaga-lembaga antikorupsi selain Komisi Pemberantasan Korupsi, seperti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, menurut SBY, harus terus diperkuat dan didukung efektivitas kerjanya. Secara khusus, SBY memberi tekanan pada upaya pelemahan KPK yang katanya harus dilawan sekuat tenaga, seraya mengingatkan agar mekanisme kerja di internal KPK terus disempurnakan sehingga tetap steril dari korupsi.

Isi pidato Presiden tersebut sepertinya ingin merespons wacana yang berkembang di masyarakat sekaligus ingin menegaskan bahwa posisi Presiden berhadapan dengan kekuatan-kekuatan prokorupsi yang belakangan kian terbuka ingin melemahkan kelembagaan antikorupsi. Secara kontekstual, wacana pembubaran KPK belum lama ini dilontarkan Ketua DPR Marzuki Alie, yang boleh dikatakan sikap paling vulgar dari kalangan politikus di DPR yang sejauh ini getol mempermasalahkan kewenangan KPK dalam hal penyadapan dan penuntutan. Ini karena KPK telah jadi ancaman nyata bagi para politikus yang lahir dan dibesarkan dari dana korupsi.

Bukan hanya kalangan politikus, sikap sinis terhadap KPK dan pengadilan tipikor juga acap diperlihatkan para pengacara langganan kasus korupsi yang barangkali kesulitan membangun relasi dengan pimpinan KPK dan jaksa, sesuatu hal yang biasanya mudah mereka lakukan dengan aparat hukum lain. Realitasnya, banyak pengacara ternama yang hampir selalu memenangi perkara di pengadilan umum, tetapi senantiasa keok menghadapi KPK di pengadilan tipikor, yang menyimpan sisa pertanyaan tentang kepiawaian mereka. Ada lelucon masyhur di kalangan praktisi hukum bahwa kehebatan seorang pengacara bukan karena pengetahuan hukumnya, melainkan pengetahuan tentang hakimnya.

Lebih indah dari pelaksanaan

Dalam melanjutkan upaya pemberantasan korupsi, suka atau tidak suka, memang Presiden SBY akan sangat tergantung pada kelembagaan independen antikorupsi tadi, mengingat sampai sejauh ini institusi konvensional, seperti kepolisian, kejaksaan, lembaga pengawas pemerintah, dan pengadilan umum, belum menunjukkan perbaikan kinerja serta integritas mereka secara meyakinkan.

Akan tetapi, dari sisi pemerintah justru sebenarnya tugas Presiden dalam pemberantasan korupsi adalah bagaimana memulihkan aparat kepolisian dan kejaksaan, selain reformasi birokrasi. Campur tangan Presiden untuk membenahi kelembagaan itu sangat dibutuhkan sekarang agar terjadi perubahan yang cepat karena sejauh ini sudah terbukti tidak bisa lagi mengandalkan perubahan secara internal dengan norma dan prosedur standar.

Namun, sering kali SBY beralasan tak ingin mencampuri independensi hukum, suatu asas umum yang diajarkan mata kuliah dasar di fakultas hukum yang sebenarnya tak perlu diwacanakan seorang presiden karena perbaikan kualitas penegakan hukumlah yang harus dihadirkan seorang pemimpin untuk mewujudkan keadilan di negeri ini. Sistem demokrasi tanpa kehadiran hukum kuat akan jatuh dalam cengkeraman para bandit.

Pidato antikorupsi Presiden biasanya lebih indah dari pelaksanaannya. Apalagi, situasi mutakhir sudah demikian berbeda dengan ketika pertama kali SBY mengampanyekan kebijakan antikorupsi saat memulai pemerintahannya. Saat itu, banyak pihak menaruh harapan besar karena kegagalan pemerintahan sebelumnya dan rekam jejak SBY serta keluarganya yang relatif bersih dari skandal korupsi.

SBY berkomitmen ingin memulai pembersihan dari dalam lingkungan sendiri. Namun, kini di sekitarnya, seperti di Partai Demokrat yang dia pimpin, diterjang skandal korupsi yang demikian kompleks. Ini mungkin fenomena umum korupsi politik yang berbasis pada permasalahan dana partai politik. Namun, ini juga pertanda lemahnya leadership by example karena komitmen antikorupsi Presiden justru mati kutu di kandang sendiri.

Jika sudah begini, bagaimana bisa menggerakkan jajaran pemerintahan untuk menerjemahkan komitmen Presiden ke dalam aksi nyata di setiap kementerian dan lembaga dalam membangun pilar etika kepemimpinan, integritas individu, sistem integritas, dan monitoring yang efektif? Agar spirit pemberantasan korupsi tidak menjadi loyo, tidak ada pilihan lain selain Presiden harus menyingkirkan anasir-anasir kotor dari lingkungannya, termasuk politikus busuk di dalam Partai Demokrat dan mendukung sepenuhnya investigasi KPK terhadap mereka.

Perlu langkah konkret
Saatnya komitmen politik tidak cukup sekadar dipidatokan, tetapi juga diwujudkan dalam rencana aksi konkret. Dukungan politik terhadap pemberantasan korupsi, menurut Tony Kwok, mantan Deputi Komisioner Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong, setidaknya harus diwujudkan dalam empat hal: memberi dukungan sumber daya yang memadai bagi lembaga antikorupsi, mendorong regulasi antikorupsi, tidak melakukan intervensi politik, dan menerapkan kebijakan yang tidak menoleransi korupsi.

Sekadar contoh, anggaran ICAC Hongkong saat ini 89 juta dollar AS atau 0,38 persen dari anggaran otoritas Hongkong yang berpenduduk 7 juta orang. ICAC memiliki investigator sebanyak 900 orang atau 1:200 dengan jumlah pegawai negeri di sana. Saat ini KPK hanya memiliki sekitar 160 investigator untuk sekitar 65 juta pegawai negeri dan dukungan anggaran jauh di bawah standar ICAC Hongkong.

Tidak mungkin mengharapkan KPK bisa berperang melawan korupsi secara efektif dengan kondisi seperti itu. Padahal, saat ini harapan kita hanya bertumpu pada KPK. Indonesia menargetkan capaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dengan skor 5,0 pada 2014, suatu target ambisius dari skor IPK saat ini, 2,8. Tidak mudah mencapai skor itu. Selama 11 tahun reformasi, IPK Indonesia hanya naik 0,8.

Pengalaman negara lain juga sama. China dan Thailand perlu 16 tahun untuk menaikkan IPK masing-masing dari 2,16 tahun 1995 ke 3,5 tahun 2010 dan dari 2,79 ke 3,5. Artinya, selain mencari strategi pemberantasan korupsi yang efektif, kita juga harus memiliki kepemimpinan yang kuat untuk bisa menggerakkan jajaran pemerintahan, kalangan dunia usaha, dan masyarakat untuk tidak menoleransi praktik korupsi di setiap lini kehidupan.

Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan