Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Membaik
“Secara global, dunia makin korup.”
Transparency International kemarin mengeluarkan peringkat indeks persepsi korupsi seluruh negara tahun 2008. Indonesia menduduki peringkat ke-126 dari 180 negara dalam pemberantasan korupsi pada tahun ini. Posisi ini membaik dibandingkan dengan tahun lalu, yang berada pada peringkat ke-143. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat bahwa kenaikan posisi ini tak identik dengan kinerja penegak hukum.
"Skor indeks persepsi korupsi (IPK) naik menjadi 2,6. Posisi kita naik di 126, tapi yang kami catat skor ini tidak identik dengan kinerja penegak hukum," kata Ketua KPK Antasari Azhar di kantor Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta. Namun, indeks ini, kata Antasari, bisa dipakai sebagai gambaran persepsi masyarakat.
Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis mengatakan, dengan kenaikan IPK ini, posisi Indonesia di tingkat ASEAN menjadi di atas Filipina, Laos, Kamboja, dan Burma. "Tahun lalu masih di bawah Bangladesh dan Myanmar," ujar Todung.
Menurut Todung, kenaikan ini, walaupun kecil, cukup signifikan. Sebab, secara global saat ini dunia sedang berada dalam kondisi koruptif. "Negara-negara yang ada di peringkat paling atas, angka indeksnya turun,” ujar Todung. “Artinya, secara global, dunia makin korup.”
Todung mengatakan kenaikan indeks persepsi korupsi Indonesia sebesar 0,3 ini bagaimanapun menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah telah mendapat apresiasi cukup tinggi dari responden. "Responden untuk survei ini adalah pelaku bisnis dan analis yang sering berhubungan dengan birokrat dan juga masyarakat," ujar Todung.
Para responden, kata Todung, juga sangat mengapresiasi kinerja KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Selain itu, kenaikan posisi Indonesia ini juga didukung oleh upaya pemerintah membenahi pelayanan publik. "Di sejumlah kota/kabupaten ada inovasi lokal untuk mewujudkan good governance, misalnya dengan pelayanan satu atap," kata Todung.
Terkait dengan pembenahan di daerah tersebut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan punya cara sendiri untuk melaksanakannya. "Kita menggunakan double entry dalam APBD sehingga apa yang dikeluarkan bisa dicek dari apa yang masuk," ujar Sultan. Cara ini membuat kontrol penggunaan terhadap APBD makin ketat.
Staf ahli Presiden bidang penegakan hukum, Deny Indrayana, mengatakan saat ini reformasi birokrasi lebih banyak terjadi di Departemen Keuangan, sedangkan Mahkamah Agung masih harus ditingkatkan.
Hasil reformasi Departemen Keuangan ini, kata Deny, antara lain adalah naiknya jumlah wajib pajak dan pendapatan negara dari sana. TITIS SETIANINGTYAS
Sumber: Koran Tempo, 24 September 2008