Pergeseran Praktek Politik Uang
Data pelanggaran pidana pemilu legislatif 2009 yang direkap oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan adanya peningkatan jumlah temuan, khususnya dalam konteks pidana politik uang. Ini jika dibandingkan dengan politik uang dalam pemilu legislatif 2004, yang menurut data Panitia Pengawas Pemilu 2004 hanya mencapai 50 kasus. Sedangkan untuk pemilu legislatif 2009, data pemantauan ICW di empat kota, yakni Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar, menemukan setidaknya 150 kasus dugaan politik uang. Bisa diduga, jumlah ini akan membengkak karena secara nasional setiap daerah memiliki potensi yang sama terhadap terjadinya pelanggaran politik uang.
Naiknya angka pelanggaran pidana politik uang sudah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya, terutama ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap Pasal 214 huruf a sampai e UU No. 10 Tahun 2008 mengenai penetapan calon terpilih dengan nomor urut. Oleh MK, pasal tersebut dibatalkan dan penetapan calon legislator terpilih kemudian melalui perolehan suara terbanyak.
Bagi calon legislator yang mendapat nomor urut bawah (sepatu), putusan MK merupakan anugerah karena peluang menang, yang awalnya sangat tipis, menjadi lebih terbuka. Konsekuensinya jelas, pertarungan antarcalon legislator, baik di lingkup internal partai politik maupun calon legislator antarpartai politik peserta pemilu, menjadi kian intens. Sebelum putusan MK partai politik adalah garda terdepan kampanye, sedangkan dengan pembatalan pasal 214 di atas ujung tombak kompetisi pemilu ada di masing-masing calon legislator.
Kekosongan aturan
Putusan MK juga telah membawa pengaruh terhadap aspek yuridis UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif , khususnya pada pengaturan dana kampanye. Sebagaimana diketahui, bingkai regulasi dana kampanye dalam UU Pemilu Legislatif menempatkan partai politik sebagai peserta pemilu. Sementara itu, calon legislator merupakan bagian dari partai politik. Melalui putusan MK, secara faktual calon legislator adalah peserta pemilu bersama-sama partai politik dan calon anggota DPD. Masalahnya, yang tidak diantisipasi seusai putusan MK adalah tidak adanya kewajiban sama sekali pelaporan dana kampanye bagi calon legislator.
Kombinasi antara pertarungan yang kian tinggi antarcalon legislator dan ketiadaan kewajiban pertanggungjawaban dana kampanye bagi calon legislator membuka peluang lebar bagi penyalahgunaan dana kampanye. Jika praktek pemberian uang atau materi lainnya dalam pemilu dilihat sebagai pengeluaran dana kampanye, politik uang adalah pelanggaran terhadap aturan dana kampanye.
Kekosongan hukum dalam konteks aturan dana kampanye calon legislator inilah yang meningkatkan praktek politik uang dalam pemilu legislatif 2009. Celah hukum lainnya adalah tiadanya aturan pemidanaan politik uang dalam UU Pemilu Legislatif, apabila praktek politik uang dilakukan pada masa tenang sebelum hari pencoblosan suara. UU Pemilu Legislatif hanya mengatur pelanggaran politik uang pada masa kampanye dan hari pencoblosan.
Pergeseran aktor
Selain jumlah pelanggaran politik uang yang meningkat, perubahan lainnya dapat dilihat dari sisi aktor. Pada pemilu legislatif 2004 pelaku politik uang biasanya adalah para anggota tim sukses bayangan dari masing-masing partai politik, sedangkan pada pemilu legislatif 2009 aktor politik uang bukan hanya mereka tapi juga calon legislator sendiri. Kepentingan untuk mendapatkan suara terbanyak dari pemilih, berinteraksi langsung dengan mereka, sekaligus kompetisi yang kian ketat, telah memicu praktek politik uang oleh para calon legislator.
Dalam situasi ekonomi yang sulit dan tingkat pendidikan yang buruk, sasaran politik uang selalu masyarakat di tingkat bawah. Mereka inilah yang dengan senang hati menerima pemberian uang atau materi lainnya dari calon legislator karena didorong oleh kebutuhan hidup konkret. Bahkan terdapat sebuah kesimpulan sementara yang menyebutkan bahwa pemilu legislatif 2009, termasuk di dalamnya praktek politik uang, telah meningkatkan daya beli masyarakat miskin, meskipun untuk waktu yang singkat.
Akan tetapi, pada pemilu legislatif 2009, sasaran politik uang bukan hanya pemilih kelas bawah. Ada fenomena baru di mana pemilih dari akar rumput lebih canggih mengakali kebutuhan hidup pada saat kampanye. Strategi terima uang dari semua calon legislator dan memilih yang paling besar pemberiannya merupakan sesuatu yang secara langsung merugikan pelaku politik uang.
Karena pemilihan calon legislator dilakukan secara langsung oleh pemilih, sulit mengukur tingkat loyalitas orang terhadap pilihannya, meskipun sudah ada pemberian materi sebelumnya. Maka, tidak mengherankan jika pada pemilu legislatif 2009 banyak ditemukan kasus di mana calon legislator yang tidak lolos meminta kembali materi atau uang yang pernah diberikannya kepada pemilih. Demikian pula adanya fenomena calon legislator stres yang sebagian besarnya dipicu oleh hilangnya aset, uang dan kekayaan pribadi calon legislator.
Sulitnya mengikat loyalitas pemilih melalui politik uang telah menggeser sasaran politik uang pada penyelenggara pemilu, dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten. Tak aneh jika main mata antara calon legislator dan oknum penyelenggara pemilu sudah mulai ditemukan kasusnya, terutama dengan modus penggelembungan perolehan suara calon legislator. Bahkan ditemukan fakta di mana penyelenggara pemilu secara aktif mendekati calon legislator untuk menawarkan jasa bantuan pemenangan melalui utak-atik jumlah perolehan suara.
Beberapa anggota KPU daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian karena melakukan penggelembungan suara, setidaknya memberikan bukti yang cukup kuat. Bagi calon legislator, menyuap penyelenggara pemilu jauh lebih pasti dibanding memberikan materi kepada pemilih.
Prediksi
Berkaca kepada pengalaman pemilu legislatif 2009, titik rawan politik uang dalam pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden paling tidak ada pada tiga wilayah, yakni lemahnya regulasi tentang politik uang, sepak terjang tim kampanye bayangan atau siluman, dan peluang penyalahgunaan posisi pejabat incumbent.
Untuk yang pertama, dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 terdapat celah besar aturan terkait dengan praktek politik uang, di mana tidak ada aturan pidana politik uang yang berlaku pada masa hari tenang sebelum pencoblosan. Artinya, dalam UU Pemilihan Presiden, jika praktek politik uang dilakukan pada masa tenang sebelum hari pencoblosan, tidak ada aturan yang dapat menjerat para pelakunya.
Tampaknya regulator sengaja mendesain celah hukum ini, karena tiadanya aturan pidana politik uang pada hari tenang juga terdapat dalam UU Pemilu Legislatif. Kaitan kepentingannya mudah, politik uang biasanya kian massif terjadi pada masa menjelang pencoblosan. Tiadanya regulasi politik uang pada hari tenang membuka jalan bagi berlangsungnya praktek politik uang dengan lebih bebas tanpa bisa dijerat oleh hukum.
Kedua, aktor politik uang pada pemilu presiden biasanya adalah para anggota tim sukses bayangan. Mereka leluasa melakukan praktek politik uang karena eksistensinya dalam setiap kampanye tidak pernah diatur dengan jelas. Padahal konsekuensinya bagi kualitas pemilu cukup berat, karena dana kampanye ilegal bisa digelontorkan kepada tim bayangan dan mereka membelanjakan dana itu dengan cara-cara yang melanggar aturan juga. Pengalaman pemilu presiden 2004 juga menunjukkan bahwa tim sukses bayangan adalah orang-orang yang memiliki akses besar terhadap dana publik (APBN-APBD). Tak mengherankan jika dalam beberapa kasus korupsi yang terungkap oleh KPK, uang hasil korupsi juga mengalir kepada tim sukses bayangan.
Terakhir, posisi pejabat incumbent yang dapat menggunakan dana belanja sosial, baik di APBN maupun APBD untuk kepentingan terselubung praktek politik uang. Naiknya alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2009 dibanding 2008 merupakan indikasi sekaligus berpotensi disalahgunakan oleh pejabat publik. Wajar jika pasangan JK-Win meminta agar gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil tidak dibagikan dulu, karena ini juga bisa diselewengkan untuk praktek politik uang terselubung. Dari poin di atas, tampaknya kita akan masih kesulitan membendung praktek politik uang. Maka, tak aneh jika secara substansi, hasil pemilu selalu dianggap tidak legitimate.
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 3 Juni 2009