"Perang Dingin" Aturan Baru Penyadapan
Taring KPK (Bisa) Tumpul
Pemerintah ngotot mengegolkan aturan baru tentang penyadapan. Tapi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ngotot menolak. Mengapa keduanya sama-sama ngotot?
PESAN pendek melalui SMS itu meluncur kepada salah seorang pejabat KPK dua pekan lalu (3/12). Isinya penting dan sangat mendadak: Hari itu juga, Depkominfo meminta KPK menugasi perwakilannya untuk menghadiri rapat pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Intersepsi (Penyadapan).
Rapat sedianya berlangsung di sebuah hotel di kawasan Jakarta Barat. Biasanya, undangan rapat departemen disampaikan secara resmi yang dilayangkan beberapa hari sebelum hari H. Tapi, kali ini tidak. Cukup lewat SMS. Dari informasi yang diterima Jawa Pos, undangan melalui SMS itu merupakan jawaban atas respons keras KPK yang merasa kerap ditilap ketika membahas soal RPP. "Saya tak tahu penyebabnya. Ini memang tak biasa," kata seorang pejabat di KPK, menanggapi soal undangan lewat SMS tersebut.
Begitu sampai di lokasi rapat, wakil KPK kecele. Salah seorang petugas hotel menginformasikan bahwa rapat ternyata sudah kelar beberapa menit lalu. Apa boleh buat, mereka kemudian balik kucing ke kantor Jl HR Rasuna Said, tempat KPK berkantor. Apakah wakil KPK itu sengaja ditilap?
Beberapa hari terakhir ini, hubungan Depkominfo dan KPK memang menegang. Ini semua disebabkan kengototan departemen yang kini dipimpin Tiffatul Sembiring itu mengegolkan RPP soal penyadapan. Beberapa pasal dalam aturan itu dikhawatirkan menumpulkan taring KPK.
Plt Wakil Ketua KPK Mas Achmad Santosa mengungkapkan, tak sekalipun lembaganya diajak bicara ketika RPP soal penyadapan itu dibahas. "Kalau aturan itu ada di meja saya, pasti saya menugaskan deputi untuk membicarakannya dengan departemen (Depkominfo)," ujarnya sebelum tugasnya rampung di komisi beberapa waktu lalu.
Kepala Biro Hukum KPK Khaidir Ramli memilih lebih halus mengomentari soal ini. "Bukannya tak dilibatkan. Kami diajak bicara. Hanya semua masukan yang kami berikan tak pernah didengar," ucapnya. Bagi KPK, penyadapan adalah alat yang bisa memandulkan taring koruptor.
Menurut dia, pembahasan aturan penyadapan itu memang digulirkan sejak tahun lalu, ketika Menkominfo masih dijabat M. Nuh. Namun, di zaman itu, isu penyadapan tak seheboh beberapa hari belakangan. Entah mengapa, proses penyadapan di KPK beberapa hari belakangan ini dipersoalkan.
Sumber-sumber di KPK menyebutkan, kengototan pemerintah itu tak lain setelah terbongkarnya rekaman penyadapan Anggodo Widjojo yang dibeberkan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Seperti diketahui, rekaman itu membikin merah telinga sejumlah aparat kepolisian dan kejaksaan. Betapa tidak, dari rekaman itu tergambar bagaimana skenario kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto dirancang.
Itu pula yang kabarnya membuat Menkominfo ngotot mengatur penyadapan. Cuma alasannya berbeda, yakni pemerintah khawatir bila terjadi saling sadap antaraparat. Menkominfo yang mengaku pernah berdiskusi dengan Plt Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean juga punya perspektif bahwa aktivitas penyadapan di KPK hanya lima persen dari seluruh aktivitas lembaga. Kalau aturan itu berlaku, dia yakin kinerja KPK tak terganggu. "Saya yakin. Kalau rekaman (Anggodo) itu tak muncul, mungkin penyadapan kami (KPK) tak akan diusik," terang sumber di KPK tadi. Meski demikian, itulah harga yang harus dibayar dalam kiprah pemberantasan korupsi.
Suara keras menentang RPP penyadapan itu belakangan datang dari KPK sendiri. Plt Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean tegas-tegas menolak RPP penyadapan itu. Dalam peringatan Hari Antikorupsi Rabu pekan lalu (9/12) di halaman KPK, Tumpak berapi-api menolak rancangan aturan pemerintah itu.
''RPP penyadapan ini akan menjadi masalah yang menghambat kita dalam memberantas korupsi," tegasnya. Sikap keras Tumpak itu pun disambut sorak-sorai dan tepuk tangan sebagian anak buahnya yang duduk lesehan di halaman gedung.
Beberapa saat setelah suara keras Tumpak, KPK mengirimkan masukan tertulis kepada Depkominfo. Beberapa pasal dalam rancangan itu dikritisi habis-habisan. Para komisioner berharap, kali ini masukannya digubris pemerintah. Mereka juga menginginkan pemerintah dan KPK memberantas aturan itu.
Apa saja masukannya?
Yang pertama terkait dasar pertimbangan. Pemerintah menggunakan landasan UU Telekomunikasi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun, pasal 11 UU ITE justru mengamanatkan sebaliknya. Disebutkan bahwa intersepsi dalam rangka penegakan hukum harus diatur berdasar undang-undang. "Kalau RPP dibuat tentu menabrak undang-undang. Ingat kedudukan RPP di bawah undang-undang," jelas Khaidir Ramli.
Apabila diatur dengan undang-undang, dasar hukum penyadapan lebih tegas. "Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 012-016-019/PUU-IV/2006 itu memuat tentang tata cara penyadapan harus melalui undang-undang," jelasnya. Salah satu mekanismenya bisa dilakukan lewat perbaikan UU KPK sendiri atau dalam undang-undang lain. Untuk membikin undang-undang, pemerintah tentu perlu mengagendakan waktu yang cukup.
KPK juga menolak ketentuan dalam RPP yang menyebutkan bahwa penyadapan harus melalui izin ketua pengadilan negeri (KPN). Menurut jaksa senior di KPK itu, proses perizinan bakal memakan waktu lama. "Khawatirnya, izin baru keluar setelah pembicaraan korupsi selesai dilakukan calon tersangka. Kalau begitu caranya, KPK tentu tak akan mendapatkan bukti-bukti," jelasnya.
Belum lagi, permintaan izin itu juga rawan bocor. Persoalan lain akan muncul manakala izin diajukan untuk menyadap ketua PN yang biasa mengeluarkan izin. Menurut Khaidir, selama ini penyadapan bisa sukses menangkap basah koruptor karena dilakukan diam-diam. "Yang perlu dicatat, KPK selalu memberlakukan aturan ketat untuk menyadap," tambahnya.
Tak semua orang bisa mengakses dan mendapatkan informasi penyadapan itu, termasuk orang dalam KPK sendiri. Lembaga itu juga memiliki sertifikasi internasional soal penyadapan. Bukan hanya itu. Lembaga itu juga meminta Depkominfo mengaudit aktivitas penyadapan saban tahun. "Bagaimana dengan kejaksaan dan kepolisian. Apakah mereka memberlakukan aturan yang sama. Itu belum terjawab," tambahnya.
Poin ketiga, KPK menolak tegas keberadaan Pusat Intersepsi Nasional (PIN). Ini institusi khusus bentukan pemerintah yang diberi kewenangan penyadapan. Jadi, setelah proses izin kelar, KPK mengajukan permohonan penyadapan itu ke lembaga tersebut. "Langkah ini hanya memperpanjang birokrasi perizinan," tambahnya.
Apakah penyadapan masih diizinkan bila yang hendak disadap adalah para pengawas atau kepala PIN itu sendiri. Seperti diketahui, dalam RPP itu, mereka yang duduk dalam dewan pengawas adalah Jaksa Agung dan Kapolri.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat lebih banyak lagi kelemahan RPP penyadapan itu. Untuk mengkaji RPP itu, para aktivis berdiskusi dengan sejumlah pihak, termasuk KPK.
Hasilnya, para aktivis muda itu menginventarisasi 13 persoalan mendasar dalam rancangan regulasi itu. Selain tiga poin di atas, rekaman penyadapan sangat rawan bocor bila dilakukan PIN. Demikian pula soal sanksi yang diatur dalam RPP itu. Mereka yang menabrak aturan main RPP itu tak dibebani sanksi yang menjerakan.
Selain itu, RPP menggariskan bahwa penyadapan bisa dilakukan ketika penegak hukum sudah memiliki bukti permulaan yang cukup. "Ini sangat mengganggu KPK. Langkah ini juga menabrak undang-undang lembaga itu. Penyadapan bisa dilakukan di level penyelidikan," ujar alumnus Fakultas Hukum UGM itu.
Padahal, dalam dunia penegakan hukum, bukti permulaan yang cukup sudah masuk tingkat penyidikan. Di level ini, penegak hukum biasanya telah menetapkan tersangka. "Kalau pasal itu dipaksakan, tentu tidak ada gunanya penyadapan," ucapnya.
Dia khawatir, bila pemerintah memaksakan kehendak, ke depan tak ada lagi kasus-kasus korupsi dahsyat yang bisa dibongkar karena berawal dari penyadapan. Beberapa kasus besar yang dapat dibongkar melalui penyadapan, antara lain, kasus suap Artalyta Suryani kepada jaksa Urip Tri Gunawan, kasus Al Amin Nur Nasution dan hingga skandal pengadaan barang dan jasa yang diaktori anggota DPR Bulyan Royan.
Belum lagi soal penyusunan RPP. Selama ini pemerintah dituding tak melibatkan partisipasi publik dalam menyusun regulasi. "Yang kami amati selama ini, tahu-tahu pemerintah sudah mengegolkan RPP. Bagaimana penyusunannya, suara masyarakat tak pernah didengar," katanya. (git /aga/kum)
-------------
Penyadapan, Jurus Andalan KPK Jerat Pejabat Korup
Selalu Berhasil Ungkap Kasus Kakap
Via penyadapan, KPK terbukti mampu membuka skandal kasus korupsi besar. Rekaman penyadapan juga berhasil membeber tabir mafia penegakan hukum.
SELEMBAR surat tugas itu diterima Heri Muryanto, kepala Satuan Tugas Penyelidikan KPK, dari pimpinan komisi awal Desember dua tahun lalu. Sejak itu Heri bersama anak buahnya mulai beraktivitas menyadap nomor telepon jaksa Urip Tri Gunawan. Dengan alat sadap yang mulai dioperasikan KPK pada 2006 itu, siapa pun orang yang berhubungan dengan Urip bakal tersadap.
Dalam kegiatan itu, petugas bisa mendapatkan banyak rekaman pembicaraan. Sebab, petugas memantau hubungan mereka yang disadap 24 jam nonstop. Fakta kemudian berbicara, akhir Februari 2008, sepotong pembicaraan Urip dan orang suruhan taipan Sjamsul Nursalim, Arthalyta Suryani, terlacak. Kontak telepon itu membicarakan seputar ekspose kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Beres... aman. Nanti tinggal dengerin press release-nya. Sip banget, pokoke sip banget wis," kata Urip dalam rekaman.
Percakapan berlanjut. Wanita yang dikenal dengan panggilan Ayin itu berjanji menyiapkan sesuatu. "Pokoknya hari Minggu udah ada," ungkap Ayin. Dalam pembicaraan itu Urip juga menyampaikan garuk-garuk tangan. Ini ternyata istilah bahwa sang jaksa sudah gatal untuk segera menerima uang.
Hanya beberapa hari setelah pembicaraan itu, Urip, lulusan terbaik di salah satu PTN di Jateng, diringkus petugas KPK di sebuah rumah di Terusan Hang Lekir WG 9 Simprug. Dia dituding menerima dana USD 660 ribu untuk memuluskan penyelidikan BLBI.
Dalam kasus itu, Urip juga dituding telah memeras Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen Yusuf Rp 1 miliar. Sebelumnya, Ayin juga berhasil mengontak JAM Pidsus saat itu, Kemas Yahya Rahman. Kemas mengabarkan kesuksesannya dalam konferensi pers.
Tak sampai di situ. Rekaman itu juga membuka tabir penegakan hukum. Betapa tidak, beberapa saat setelah penangkapan Urip, Ayin bisa melobi pejabat Kejagung berinisial UUS untuk mengamankan kasusnya. Melalui penyadapan pula terungkap bagaimana Ayin dan Urip mengatur persekongkolan kasus apabila dihadapkan di muka persidangan. Yang mengagetkan pembicaraan dilakukan saat keduanya dalam tahanan.
Setelah menjalani persidangan, keduanya dijatuhi hukuman maksimal, Ayin diganjar 5 tahun penjara, sedangkan Urip lebih berat: 20 tahun penjara. Ini kasus paling fenomenal yang diungkap KPK terkait penyadapan.
Selang beberapa hari setelah penangkapan itu (9/4) setahun lalu, taring KPK kembali "memakan" korban. Kali ini, yang ditangkap adalah Al Amin Nur Nasution, anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Yang bersangkutan diringkus di sebuah hotel di Jakarta Selatan. Bersama dia ikut ditangkap pejabat penyuapnya, yakni Sekda Bintan Azirwan.
Mantan suami pedangdut Kristina itu dituding telah menerima suap terkait alih fungsi hutan lindung untuk pembangunan hutan lindung. Ini kasus pertama KPK yang mengungkap suap di parlemen. Penyadapan KPK itu juga menguak tabir betapa lancungnya perilaku anggota parlemen. Rekaman penyadapan mengungkap Al Amin yang meminta dicarikan perempuan kepada Azirwan.
Ada yang lebih mengejutkan. Penyadapan itu juga berhasil menguak kasus korupsi yang tak bakal terkuak bila penyelidikan kasus korupsi hanya berawal dari pengusutan dokumen semata. Dalam kasus Al Amin saja, KPK berhasil melacak pemerasan Al Amin terhadap rekanan Departemen Kehutanan dalam pengadaan alat global positioning system (GPS). Yakni, dari PT Almega Geosystem Rp 650 juta dan PT Data Script Rp 186 juta.
Dalam persidangan dia juga terbukti mengancam kedua rekanan itu agar memberikan uang. Bahkan, dia mengancam akan mempersoalkan pengadaan GPS di pleno DPR bila permintaan uang tak dikabulkan. Namun, belakangan penyadapan di KPK mendapatkan banyak kritikan. Sebab, akibat penyadapan itu tak jarang persoalan pribadi terungkap ke publik. Dalam satu percakapan, transaksi korupsi agak sulit dipisahkan dari persoalan pribadi.
Saat Antasari Azhar memimpin KPK, memang penyadapan kasus korupsi kian gencar dilakukan. Beda halnya saat KPK dipimpin Taufiequrrahman Ruki. Penyelidikan kasus korupsi dominan hanya berbasis dokumen dan penyelidikan.
Setelah dua kasus besar itu, berturut-turut terungkap korupsi pengadaan kapal patroli di Departemen Perhubungan, yang menyeret anggota DPR Bulyan Royan. Melalui penyadapan pula, KPK berhasil mengusut dugaan suap petinggi First Media Billy Sindoro menjelang dijatuhkannya keputusan sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kasus ini menyeret komisioner Muhammad Iqbal. Yang tak kalah heboh, terbongkarnya dugaan suap dalam pembahasan dana stimulus di DPR. Lagi-lagi, kasus ini menyeret peran anggota DPR, Abdul Hadi Djamal.
Penyadapan pula yang berhasil menguak perancangan dugaan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Dalam penyadapan berdurasi 4,5 jam itu, terungkap bahwa Anggodo Widjojo diduga menjadi tokoh sentral dalam penyusunan skenario kasus tersebut.
Anggodo disadap terkait dugaan kasus korupsi yang menyeret kakaknya, Anggoro Widjojo, direktur PT Masaro Radiokom yang kini buron. ''Kalau penyadapan dipersulit, jangan harap kasus Urip dan Artalyta terungkap lagi ke publik," ujar peneliti hukum ICW Febri Diansyah.
Agus Sudibyo, deputi direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), juga mengkritisi RPP penyadapan tersebut. Menurut dia, pemerintahan SBY tidak bisa menakar skala prioritas berdasarkan kondisi faktual. "Penyadapan perlu diatur, tapi yang lebih urgen adalah membangun sistem pemberantasan korupsi," kata Agus.
Dia menerangkan, regulasi tentang penyadapan bisa mengurangi efektivitas regulasi yang lebih dulu ada, yakni UU KPK. "Padahal, UU KPK memberi kewenangan untuk menyadap. Seharusnya (RPP penyadapan) itu tidak mengurangi efektivitas yang sudah berjalan," urainya.
Tidak hanya itu. Posisi Menkominfo sebagai pemegang otoritas yang bisa menghentikan kegiatan penyelenggara sistem elektronik berkait penyadapan juga dipertanyakan. "Alasannya apa? Sekali lagi, ini bukan masalah teknologi informasi, tapi juga konteks penegakan hukum. Ini kompetensinya lintas bidang," tegas Agus. (git/fal/iro)
------------------
Imbangi Teknologi Transaksi Korupsi
PENASIHAT KPK Abdullah Hehamahua mengungkapkan, penyadapan ibarat tulang punggung KPK. "Tanpa penyadapan mustahil kasus-kasus suap akan terbongkar. Apalagi, yang dibongkar KPK semuanya kasus besar dan mendapat perhatian publik," jelasnya. Dengan membongkar kasus besar, KPK berharap hal semacam itu bisa memberikan efek jera kepada siapa pun yang hendak korupsi.
Penyadapan, kata dia, untuk mengimbangi transaksi korupsi yang makin canggih. "Dalam transaksi suap jarang sekali penerima suap memberikan kuitansi. Jadi, mana mungkin yang begini terungkap," katanya.
Penyadapan di KPK melalui proses yang amat rumit. Awalnya, direktur penyelidikan KPK memberikan nomor kepada deputi penindakan yang diteruskan kepada pimpinan KPK. Pimpinan selanjutnya memutuskan apakah yang bersangkutan perlu disadap atau tidak. Jika mendapatkan izin, pimpinan kemudian memberikan nomor yang hendak disadap kepada petugas penyadapan. Ruang ini tak bisa diakses sembarang orang, termasuk pimpinan KPK sekalipun.
"Setelah beberapa waktu, hasil penyadapan dianalisis apakah cukup bukti untuk dilanjutkan ataukah tidak," jelas seorang petugas di KPK. Apabila cukup layak, penyadapan bisa dilanjutkan hingga didapatkan indikasi terjadi kasus korupsi. KPK juga mengadakan gelar perkara yang bersifat rahasia untuk memutuskan hasil penyadapan. "Yang pasti, penyadapan di KPK hanya untuk kasus korupsi," tegas Abdullah Hehamahua, pria yang selama ini menjadi ketua Tim Audit Penyadapan di KPK. (git/fal/iro)
--------------
Rawan Saling Menjatuhkan
MENTERI Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menampik anggapan bahwa kebijakan mengatur penyadapan karena pemerintah takut ''dikerjai'' Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi, anggapan bahwa pengaturan penyadapan itu sebagai buntut mencuatnya rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo yang dibeber di Mahkamah Konstitusi (MK).
''Tidak ada hubungannya dengan itu semua,'' kata Tifatul. Mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang penyadapan merupakan konsekuensi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) Tahun 2008.
Tifatul mengatakan, UU tersebut mengamanahkan untuk melakukan RPP masalah penyadapan. Yang diatur, kata dia, bukan hanya KPK, tapi juga lembaga lain yang punya kewenangan menyadap dan memiliki alat penyadap. Mereka adalah Polri, Kejaksaan Agung, dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Menurut Tifatul, lembaga yang memiliki kewenangan menyadap dan memiliki alat penyadap itu rawan saling menyadap. Akibatnya, masing-masing lembaga penegak hukum bisa saling menjatuhkan. Itu, kata dia, bisa dilihat dalam kasus rekaman Anggodo Widjojo yang dibuka di MK. ''Patut diduga, ada upaya saling menyadap di antara lembaga penegak hukum,'' ujar lelaki berjenggot itu.
Karena itu, kata Tifatul, Depkominfo merasa harus membuat regulasi untuk mengatur lalu lintas penyadapan. Selain agar tidak ada upaya saling sadap, regulasi itu menghindarkan penyalahgunaan kewenangan. ''Kita tidak ingin orang disadap terus sampai akhirnya kesalahannya ketahuan. Itu kan namanya mencari-cari kesalahan,'' katanya.
RPP tersebut, kata Tifatul, mengatur agar lembaga yang bisa menyadap baru bisa menyadap kalau sudah memiliki bukti awal yang kuat. Bukti itu lantas disampaikan ke pengadilan. (aga/iro)
Sumber: Jawa Pos, 14 Desember 2009