Peran Aulia Pohan Makin Terang

BPK Simpulkan Rekayasa Pencairan Dana BI Rp 100 M

Kesaksian auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam sidang lanjutan kasus dana Bank Indonesia (BI) kemarin (8/9) makin menelanjangi peran Aulia Pohan. Kepada auditor BPK, mantan deputi gubernur BI itu pernah mengaku bahwa audit investigasi BPK makin membuat bank sentral tersebut bermasalah dengan hukum.

Hasil audit BPK itu membeberkan pengakuan Aulia terkait dengan pengeluaran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) Rp 100 miliar. Hasil audit juga menyimpulkan adanya rekayasa dalam penarikan dana tersebut. Namun, saat dimintai konfirmasi, pejabat teras BI itu rata-rata menolak memberikan keterangan tertulis. Tim auditor BPK terpaksa menyusun sendiri materi tertulis dari hasil wawancara dengan para pejabat BI, termasuk Aulia.

Hal tersebut terungkap dari hasil audit oleh tim yang dikoordinasi Kepala Sub-Auditoriat IIB BPK I Nyoman Wara. Dia bersaksi bersama kuasa hukum BI Luhut M.P. Pangaribuan serta pakar yayasan Dr Budi Untung untuk terdakwa Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak.

Hasil audit Wara merupakan titik awal kasus BI. Hal itu bermula dari penurunan yang cukup mencolok atas kekayaan YPPI.

Menurut Wara, saat mengaudit pada 2003, kekayaan YPPI Rp 370 miliar. Setahun berikutnya, aset yayasan yang dikendalikan BI tersebut merosot sekitar Rp 93 miliar. ''Itulah yang menjadi awal mulanya. Kami curiga mengapa kekayaan yayasan banyak berkurang,'' ungkap pria 41 tahun tersebut. BPK berwenang mengaudit YPPI karena asetnya termasuk keuangan negara.

Dia menyatakan, tim auditor BPK berusaha menyelidiki penurunan aset tersebut. Setelah dikonfirmasikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, tampaknya, pejabat teras BI mengakui secara blak-blakan penarikan dana yayasan itu. ''Kami minta keterangan kepada Rusli Simanjuntak, Oey Hoey Tiong, serta Aulia Pohan,'' ujar Wara dalam sidang yang dipimpin Moefri.

Dari keterangan mereka, kata Wara, pengucuran dana BI bertujuan semata-mata memulihkan citra BI yang terpuruk. Sedikitnya dana Rp 100 miliar terang-terangan dialirkan untuk proses diseminasi di DPR Rp 31,5 miliar dan Rp 68,5 miliar untuk ''mendekati'' aparat.

Menurut Wara, adanya ketekoran dana yang mencapai Rp 100 miliar tersebut sudah banyak menghasilkan perkembangan bagi kelangsungan BI. Dari hasil pemeriksaan terhadap Rusli, ada beberapa yang telah dihasilkan dari pengucuran dana bermasalah itu.

Yang pertama, dibebaskannya tiga mantan direksi BI dalam kasus BLBI, rampungnya persoalan BLBI dengan pemerintah, serta munculnya SP3 dari kejaksaan terhadap para pejabat BI yang menjadi tersangka kasus BLBI.

Dana BI juga dipakai untuk menempatkan para pegawai BI di sejumlah lembaga-lembaga pemerintah. Dengan begitu, perlahan citra BI bisa pulih. ''Keterangan Pak Rusli tersebut diterangkan secara lisan,'' kata pria kelahiran Karang Asem tersebut.

Saat ditemukan kejanggalan dalam laporan keuangan YPPI, Rusli menolak menjelaskan. ''Apa yang diungkapkan Pak Rusli prinsipnya sama dengan Aulia Pohan,'' ujarnya.

Yang mengagetkan, hasil audit juga menyebutkan bahwa aliran dana tersebut sengaja direkayasa bahwa dana tersebut dilakukan saat YPPI masih berstatus Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Sebab, bila berstatus yayasan, kekayaan badan hukum harus benar-benar terpisah dan tak bisa dikuras.

Karena ada pengeluaran dana tersebut, Wara juga berusaha mengonfirmasi kepada Aulia Pohan. Ternyata, besan orang nomor satu di Indonesia tersebut juga mengungkapkan alasan yang sama.

Persoalan hukum yang kerap membelit BI, kata Wara, lebih diakibatkan seringnya BPK mengadakan audit investigatif terhadap BI. ''Pak Aulia juga mengakui bahwa audit investigatif BPK tersebut memang cukup membuat BI bermasalah dengan hukum,'' jelasnya. BI, tampaknya, kelabakan karena seringnya BPK mengadakan audit.

Audit tersebut ternyata juga melebar ke Anwar Nasution, yang ketika itu masih menjabat dewan gubernur. Anwar mengaku tidak pernah menghadiri rapat dewan gubernur (RDG) yang memutuskan aliran dana itu. Namun, dia hanya terlibat dalam rapat yang menyetujui agar BI mengembalikan dana kepada YPPI.

Anwar juga tidak mengetahui bagaimana skema pendanaannya. ''Secara formal atau informal, Pak Anwar juga tidak mengetahui bagaimana bentuk laporan pertanggungjawaban dana itu,'' ungkapnya.

Dalam sidang, kehadiran Luhut sebagai saksi diprotes kuasa hukum Rusli dan Oey, O.C. Kaligis. Alasannya, kehadiran Luhut khawatir menimbulkan konflik kepentingan terhadap kesaksiannya. Bahkan, saat giliran penasihat memberikan pertanyaan, Kaligis setengah menyindir. ''Bisa Anda jelaskan apa kira-kira yang memberatkan terdakwa dalam persidangan,'' ujar Kaligis. Soal itu, Luhut tak menjawab.

Setelah bersaksi, hakim maupun jaksa melarang Luhut menjadi kuasa hukum BI. ''Saya melarang Anda menjadi kuasa hukum BI lagi,'' tegasnya.

Pada bagian lain, KPK diminta menindaklanjuti pengakuan terdakwa Antony Z. Abidin bahwa pernah diperas Baharuddin Aritonang Rp 500 juta. Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM yang kini menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana mengungkapkan, masyarakat menaruh harapan terhadap keseriusan KPK dalam mengusut perkembangan kasus BI. ''Dalam sidang, Antony mengaku diperas. Pengakuan itu harus ditindaklanjuti agar semua menjadi jelas dan gamblang. Tentunya, KPK bisa melakukan investigasi atas kasus tersebut,'' ujarnya.

Dia menambahkan, ada beberapa pertimbangan yang membuat KPK belum memprioritaskan penyelidikan kasus tersebut. Salah satunya, banyak nama yang muncul dalam sidang.

Di tempat terpisah, pakar hukum tata negara Saldi Isra menyatakan, para terdakwa tidak mungkin berbuat sendiri dalam kasus BI. Karena itu, KPK harus menindaklanjuti semua fakta hukum. Apalagi, jika itu sudah menjadi putusan hakim, mereka harus segera mendalami fakta dan bukti hukum. ''KPK tak boleh berhenti pada satu orang,'' katanya.

Sebelumnya, Antony mengaku diperas Baharuddin Rp 500 juta. Uang tersebut ditengarai untuk memuluskan amandemen UU tentang BPK. Hal itu diungkapkan saat bersaksi di Pengadilan Tipikor. Menurut Antony, Baharuddin merupakan temannya semasa duduk di Komisi IX DPR periode 1999-2004.

Baharuddin membantah pengakuan Antony tersebut. ''Nanti di persidangan kita lihat. Bukan tidak mungkin yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi di persidangan,'' ujarnya. (git/agm)

Sumber: Jawa Pos, 9 September 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan