Pengelolaan Haji Harus Dilepaskan dari Kementerian Agama
Biaya Pelaksanaan Ibadah Haji (BPIH) di Indonesia tergolong paling mahal dibandingkan biaya haji di kawasan Asia. Sayangnya, biaya yang tinggi tidak dibarengi kualitas penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas. Setiap tahun, selalu saja ada kabar buruk, mulai soal pemondokan haji yang tidak layak, katering haji yang terlambat menyalurkan makanan, hingga antrean nama calon jamaah haji yang diserobot oknum tertentu.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas, mengatakan, pangkal pokok buruknya penyelenggaraan haji di Indonesia terjadi karena adanya tumpang tindih kewenangan di Kementerian Agama. Fungsi legislasi, pengelolaan dan evaluasi dilakukan oleh Kemenag, sehingga terjadi konflik kepentingan dan membuka peluang kecurangan. "Intinya, harus dilakukan revisi atas Undang-undang Haji No 13 Tahun 2008. Pengelola haji seharusnya berasal dari sebuah badan independen di luar institusi Kementerian Agama," ujar Firdaus, Senin (18/4). Berikut petikan wawancara Farodlilah Muqoddam dengan Firdaus Ilyas.
Mengapa biaya penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia lebih mahal dibanding negara tetangga?
Ada dua penyebab mahalnya biaya haji. Pertama, tidak optimalnya pengelolaan dana setoran awal dari calon jamaah haji. Bila dikelola dengan baik, dana awal ini bisa menjadi pengurang komponen biaya penyelenggaraan haji yang harus ditanggung jamaah.
Poin penting kedua, tidak jelasnya pembagian komponen biaya yang harus ditanggung jamaah dan biaya penyelenggaraan yang dibayar pemerintah melalui APBN dan APBD. Sering dijumpai, biaya penyelenggaraan seperti administrasi, transportasi dan honor petugas penyelenggara haji, masih disubsidi oleh jamaah. Ini menyebabkan biaya haji menjadi semakin tinggi.
Selain kedua hal itu, biaya haji semakin tinggi karena terjadi pemborosan atau mark-up harga-harga barang dan jasa untuk keperluan ibadah haji. Harga yang dibayarkan untuk transportasi, akomodasi, pemondokan dan katering tidak wajar, cenderung lebih tinggi dari harga normal.
Bagaimana dengan sistem setoran awal untuk menentukan antrean pemberangkatan calon jamaah haji?
Tidak ada masalah dengan itu selama dikelola dengan baik. Tapi kecenderungan yang terjadi di sini, pengelola ibadah haji selalu berusaha memegang sebanyak mungkin uang dari jamaah. Semakin banyak uang yang dikelola, semakin banyak rente yang didapat.
Soal tabungan haji yang dibisniskan?
Tabungan haji memang diperlukan, karena dari statistik ditemukan bahwa mayoritas jamaah haji asal Indonesia berasal dari kelompok menengah ke bawah. Tabungan ini akan membantu mereka menyisihkan sebagian penghasilan untuk berhaji. Sistem serupa juga berlaku di Malaysia. Di Indonesia, ada beberapa bank yang ditunjuk untuk mengelola tabungan haji masyarakat untuk disetorkan kepada pengelola haji, dalam hal ini Kementerian Agama.
Akan tetapi yang menjadi masalah adalah, sistem administrasi haji ini masih membuka celah kecurangan. Sistem antrean yang awalnya ditentukan berdasarkan masuknya setoran awal calon jamaah, bisa diba-tiba diserobot oleh oknum tertentu yang bersedia membayar sejumlah uang, atau oknum pejabat yang ingin didahulukan. Inilah yang terjadi akibat tumpang tindihnya kekuasaan, dimana posisi pengawasan, pelaksana, sekaligus evaluasi, dipegang oleh satu pihak, Kementerian Agama.
Melihat masalah yang ada, perlukah membentuk badan penyelenggara haji independen?
Ya, penyelenggaraan ibadah haji tidak akan efektif ketika semua dipegang oleh satu pihak. Intinya, harus dilakukan revisi atas Undang-undang Haji No 13 Tahun 2008. Pengelola haji seharusnya berasal dari sebuah badan independen di luar institusi Kementerian Agama.
Badan independen ini nantinya akan bekerja untuk menyelenggarakan ibadah haji dengan menggunakan standar umum, dalam artian, harga barang dan jasa yang diperlukan ditentukan dengan standar yang berlaku. Karena berada di luar sistem, Badan ini akan bertanggung jawab kepada legislator dan evaluator. Sistem kerjanya mirip dengan badan Layanan Umum seperti rumah sakit atau penyedia layanan publik lain.