Pengangkatan Hakim Tindak Pidana Korupsi
Sejak era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, Pemerintah Republik Indonesia gencar melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dimana hal tersebut dapat dilihat dari berbagai ketentuan perundang-undangan yang dibentuk sebagai upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dengan kata lain bahwa sejak era reformasi, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan sebagai upaya dan sarana untuk memberantas korupsi di Indonesia yang sudah endemis dan sistemis.
Pada tahun 2004 pemerintah membentuk pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang bertujuan untuk mewujudkan suatu pengadilan yang menkonsentrasikan atau mengkhususkan pemeriksaan kasus-kasus tindak pidana korupsi dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia sebagai tindak pidana khusus atau luar biasa. Oleh karena itu dibutuhkan hakim-hakim yang mengerti dan menguasai perihal tindak pidana korupsi, serta mempunyai integritas dan profesionalitas. Adapun komposisi hakim Pengadilan Tipikor terdiri dari hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ("UU 30/2002") yang menyatakan: "Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc".
Berdasarkan atas hal tersebut dibutuhkan aparat penegak hukum, dalam hal ini hakim Pengadilan Tipikor yang mempunyai kredibilitas dan akuntabilitas yang memadai, dimana hakim Pengadilan Tipikor ini terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc (Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ("UU 30/2002")).
Sehubungan dengan pengangkatan hakim Tipikor ini, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui SK No 041/KMA/K/III/2009 tertanggal 18 Maret 2009 telah menunjuk 9 (sembilan) hakim Pengadilan Tipikor yang akan menempati pos-pos baru menggantikan pendahulu mereka. Namun, pengangkatan 9 (sembilan) hakim ini menimbulkan kontroversi. ICW berpendapat bahwa SK pengangkatan tersebut dilakukan cacat hukum dan menyalahi ketentuan UU 30/2002. Menurut ICW, Mahkamah Agung Republik Indonesia ("MARI") tidak melakukan pengumuman mengenai pemilihan hakim Tipikor, padahal berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 ayat (4) UU No.30/2002 dan penjelasannya ditentukan bahwa pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan, dilakukan secara transparan dan partisipatif, serta diumumkan melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan tanggapan masyarakat.
Ketua MA kemudian mencabut kembali SK tersebut karena ada beberapa prosedur yang tertinggal, namun menurutnya pengumuman telah dilakukan melalui website. Melihat kasus ini, penulis berpendapat bahwa pengumuman tersebut belum cukup sekalipun MA telah mengumumkan melalui situs MA. Memang dalam penjelasan Pasal 56 ayat (4) UU No. 30/2002 diatur bahwa pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik, dengan demikian pengumuman tersebut seharusnya tidak hanya dilakukan dengan media elektronik saja tetapi juga harus dengan menggunakan media cetak. Disini letak kekurangan pasal tersebut, seharusnya dalam pemilihan yang penting ini pengumuman dilakukan melalui media cetak nasional dan media elektronik. Media cetak disini haruslah media yang terbit secara nasional sehingga bisa menjangkau seluruh provinsi di Indonesia, sedangkan untuk media elektronik sebaiknya pengumuman tersebut jangan hanya melalui situs internet saja karena belum meratanya jangkauan jaringan internet di Indonesia. Pengumuman dengan media elektronik juga dapat dilakukan melalui televisi dan/atau radio. Dengan pengaturan yang lebih jelas tersebut, diharapkan kontroversi seperti dalam kasus ini tidak terulang kembali di masa mendatang.
Isu berikutnya terkait SK No 041/KMA/K/III/2009 adalah mengenai ICW yang membeberkan bahwa enam dari sembilan hakim pernah menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa kasus korupsi, sehingga pengangkatan mereka sebagai hakim Pengadilan Tipikor akan mengancam progresivitas pemberantasan korupsi di Indonesia yang selama ini digencarkan KPK. Menurut penulis hal ini perlu diselidiki lebih lanjut mengenai putusan-putusan yang dibuat oleh mereka. Apakah putusan-putusan mereka kontroversial; tidak memberikan rasa adil yang dapat diterima oleh masyarakat; ada hal-hal yang membuat mereka menjadi tidak imparsial dalam membuat putusan, dan lain-lain, termasuk apakah ada unsur judicial corruption yang membuat mereka tidak independen dalam membuat putusan. Tidak benar jika seseorang yang sudah menjadi terdakwa dalam persidangan tindak pidana korupsi, maka ia bersalah dan harus dihukum. Jika demikian yang terjadi, maka hal tersebut melanggar prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Berdasarkan prinsip tersebut seseorang dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah oleh pengadilan. Pengadilan adalah tempat mencari keadilan (access to justice), dan bukan tempat untuk menghukum.
Apabila kita lihat dalam UU No.30/2002 tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh membebaskan terdakwa korupsi. Pasal 56 dan 57 UU No.30/2002 juga tidak menyatakan bahwa syarat untuk dapat diangkatnya seorang hakim menjadi hakim Tipikor baik karir maupun ad hoc adalah mempunyai catatan karir tidak pernah membebaskan terdakwa korupsi. Selain itu, jika memang dalam proses persidangan terdakwa korupsi tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka sudah sepatutnya ia dibebaskan sesuai dengan asas due process of law. Dengan demikian, menurut penulis untuk menentukan apakah seseorang layak atau yang tidak layak untuk menjadi hakim Tipikor harus dilihat dari hasil-hasil putusan yang pernah dibuatnya dan dampaknya pada penegakan hukum di Indonesia, selain dari persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan dalam Pasal 57 UU No.30/2002.
Penulis mengapresiasi keputusan MA untuk mencabut kembali SK No 041/KMA/K/III/2009. Semoga dengan ditariknya SK tersebut menunjukkan bahwa MARI mau mengakui dan memperbaiki kesalahan yang ada, serta mencegah terciptanya kontroversi lebih lanjut. Oleh karena itu diharapkan di Indonesia terdapat para penegak hukum yang memiliki kredibilitas dan akuntabilitas yang memadai sehingga dapat menegakkan hukum dan keadilan.
Frans H. Winarta, Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Tulisan ini disalin dari Jurnal nasional, 22 Mei 2009