Pengadilan Antikorupsi Dinilai Akan Bermasalah
Kejaksaan menyatakan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di tujuh tempat di ibu kota provinsi akan menimbulkan masalah bagi jaksa penuntut umum. Menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji, secara teknis, perkara-perkara yang terjadi jauh dari ibu kota provinsi akan menyulitkan jaksa menghadirkan terdakwa.
Hendarman mencontohkan jaksa yang menangani perkara di Banyuwangi akan kesulitan membawa barang bukti ke persidangan di Surabaya, ibu kota provinsi Jawa Timur. Selain itu, soal tahanan, misalnya terdakwa yang ditahan di Kabupaten Cilacap dibawa ke persidangan di Semarang, ibu kota Jawa Tengah.
"Jawa Tengah kan luas. Membawa tahanan dari Cilacap ke Semarang kan jauh. Membawanya juga memerlukan biaya," kata Hendarman setelah bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa di Mahkamah Agung kemarin. Selain itu, jaksa kesulitan menentukan apakah terdakwa akan ditahan di Semarang atau dibawa pulang ke Cilacap.
Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir September lalu. Dalam undang-undang itu disebutkan, pengadilan khusus antikorupsi akan dibentuk di ibu kota provinsi. Mahkamah Agung menyatakan sampai awal 2010 akan membentuk tujuh pengadilan antikorupsi di tujuh ibu kota provinsi setelah pengesahan undang-undang tersebut, yakni di Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, Palembang, Medan, dan Samarinda.
Menurut Hendarman, perkara korupsi di provinsi selama belum dibentuk pengadilan khusus antikorupsi bisa saja ditangani pengadilan umum. Kendati begitu, dia melanjutkan, "Apakah ini nanti tidak akan terjadi disparitas pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi?"
Hendarman mengatakan telah menyampaikan berbagai masalah ini kepada Harifin. Menurut dia, masalah tersebut akan dibahas lebih lanjut antara Jaksa Agung Muda Pidana Khusus dan Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung. SUTARTO
Sumber: Koran Tempo, 27 Oktober 2009