Pengadilan Antikorupsi di Bawah Peradilan Umum
"Tidak boleh ada dualisme dalam pengadilan terhadap tindak pidana korupsi."
Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bersama pemerintah sepakat bahwa pembentukan pengadilan khusus antikorupsi masuk lingkup peradilan umum. Menurut Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dewi Asmara, jika pengadilan tindak pidana korupsi dilepaskan dari peradilan umum justru akan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi.
"Chord-nya di situ. Jika dipisahkan justru tidak mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi," kata Dewi saat dihubungi kemarin. Sehingga, Dewi melanjutkan, pengadilan khusus antikorupsi itu nantinya akan bersama dengan pengadilan militer, pengadilan anak, dan pengadilan agama.
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006. Dalam putusannya, Mahkamah meminta Dewan Perwakilan Rakyat merampungkan pembahasan RUU tersebut sebelum 19 Desember 2009.
Dewi menjelaskan, kesepakatan ini masih menunggu proses sinkronisasi dengan revisi Undang-Undang Peradilan Umum, yang sedang dibahas. Menurut dia, anggota fraksi di DPR telah menyamakan persepsi dengan pemerintah pada pembahasan sebelumnya. "Yakni tidak boleh ada dualisme dalam pengadilan terhadap tindak pidana korupsi," katanya.
Dewi melanjutkan, sesuai dengan pembahasan dalam rapat kerja dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta perwakilan Kejaksaan Agung, pengadilan khusus tindak pidana korupsi ini untuk sementara akan dibentuk di beberapa provinsi menempel pada pengadilan negeri. Hal itu, kata dia, mengingat kondisi keuangan negara yang terbatas dan sumber daya manusia belum memadai. "Di tingkat provinsi dulu, baru kemudian di kabupaten/kota jika sudah siap," ujarnya.
Pembahasan RUU ini, kata Dewi, akan dilanjutkan pada Senin ini dengan agenda soal komposisi hakim. Pada pekan lalu, komposisi hakim ad hoc pada pengadilan khusus ini masih menjadi perdebatan.
Gayus Lumbuun, anggota panitia khusus, menjelaskan, meski di bawah pengadilan umum, bentuk pengadilan tindak pidana korupsi tetap khusus. Pengadilan antikorupsi direncanakan ada di beberapa kota besar, seperti Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
Kendati begitu, Gayus mengatakan ada hambatan dalam pembahasan RUU itu, yakni soal kedudukan penuntut umum dalam pengadilan. Menurut dia, sebagian anggota panitia khusus menginginkan penuntut umum adalah jaksa yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, kata Gayus, hal itu akan bertentangan dengan undang-undang yang menyatakan bahwa penuntut umum harus berasal dari Kejaksaan. Sebisa mungkin, Gayus melanjutkan, undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lain. "Agar tak diuji lagi di Mahkamah Konstitusi," katanya.
Di tempat terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji berharap pengadilan antikorupsi berada di bawah peradilan umum, seperti halnya pengadilan perikanan dan pengadilan tata niaga. Sebab, kata Hendarman, Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebut empat jenis pengadilan, yakni pengadilan militer, agama, umum, dan tata usaha negara. EKO ARI WIBOWO | FAMEGA SYAVIRA | ANTON SEPTIAN
Sumber: Koran Tempo, 29 Juni 2009