Pengacara dan Kejahatan Negara

Publik Sulawesi Utara sebagai daerah yang dikomandaninya saat ini tentu saja berharap agar Ali Mazi terbebas dari segala hukuman.

Kasus perpanjangan hak guna usaha Hotel Hilton Internasional milik pengusaha kondang Ponco Sutowo yang merugikan negara Rp 1,7 triliun ternyata melibatkan peran kuat pengacara yang bertindak sebagai kuasa hukum pihak pemilik. Ali Mazi yang saat ini menjadi Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara adalah pengacara PT Indobuild Co. milik Ponco Sutowo, yang tampaknya harus menanggung risiko atas kasus itu karena semua urusan sudah dilimpahkan kepadanya.

Setelah keluar izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ali Mazi pun harus siap menjalani pemeriksaan tim pemberantas tindak pidana korupsi. Dalam kasus tersebut, terbuka peluang bagi Ali Mazi untuk menjadi tersangka korupsi karena Ponco Sutowo tampaknya akan melempar semua tanggung jawab itu kepada sang pengacara. Maklum, ia sudah mengeluarkan dana yang cukup signifikan sebagai imbal jasa atas peran pengacara dalam menjalankan misi bisnisnya. Sebaliknya, Ali Mazi pun niscayalah sudah menikmati hasil jerih payah atas semua urusan itu.

Proses-proses hukum ke depan memang masih harus dijalani oleh Ali Mazi sebagai konsekuensi logis dari salah satu peran yang pernah dilakoni pada masa lalu sebelum menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara. Ia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya itu. Publik Sulawesi Utara sebagai daerah yang dikomandaninya saat ini tentu saja berharap agar Ali Mazi terbebas dari segala hukuman. Namun, semua harapan itu haruslah selalu tunduk pada hasil proses penyidikan yang segera akan berlangsung. Soalnya, di negara yang berdasarkan hukum ini, setiap orang harus diperlakukan sama di depan hukum, termasuk di dalamnya para pengacara dan/atau para pejabat yang terindikasi alias memiliki sangkut paut dengan segala kejahatan.

Pengacara memang sangat penting peranannya dalam suatu proses penyelesaian masalah, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Teorinya, sebenarnya seorang pengacara haruslah bersikap jujur, obyektif, dan memiliki integritas terhadap supremasi hukum. Mereka tak boleh membuat tafsir hukum yang bersifat sangat subyektif yang berakibat pada manipulasi kebenaran atau mengingkari fakta hukum dengan berbagai modusnya.

Tepatnya, seorang pengacara seharusnya berdiri netral dalam membantu meluruskan hukum dalam penyelesaian suatu perkara sehingga tidak membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

Namun, kenyataannya tak sedikit pengacara yang mengingkari prinsip-prinsip fundamental dari etika kepengacaraan atau penegakan hukum itu. Suatu fakta atau kebenaran kerap bisa dijungkirbalikkan dengan memainkan tafsir hukum. Soalnya, mereka cenderung berada pada posisi paradoksal, yakni di satu pihak dituntut untuk selalu berada di jalur penyelesaian kasus yang ditangani secara obyektif berkeadilan. Pada saat yang sama mereka dituntut untuk memenangkan klien atau pihak yang dibela. Soalnya, sudah menjadi harapan pihak klienlah untuk dimenangkan atau diringankan beban hukumnya. Ini berkaitan dengan fakta bahwa income seorang pengacara selalu berkorelasi positif dengan kemampuannya untuk memenangkan setiap perkara atau meringankan beban kliennya itu.

Dalam kondisi seperti itu, tampaknya idealisme para pengacara cenderung luntur atau terkalahkan oleh tawaran materi yang menggiurkan. Memang sudah menjadi postulate social bahwa materi cenderung mendominasi orientasi individu dan kelompok, terutama mereka yang sangat rendah derajat integritasnya. Karena itu, tidak mengherankan pulalah kalau mereka yang bekerja sebagai pengacara cenderung kaya atau bergelimang materi.

Para pengguna jasa pengacara juga kerap silau. Mereka cenderung menggunakan jasa pengacara kaya untuk menangani masalahnya. Soalnya, di mata publik kita, pengacara kaya identik dengan keberhasilan dalam menangani berbagai masalah besar. Sebaliknya, para pengacara yang benar-benar menjalankan amanah etis dan hukum secara bermoral akan selalu sepi pasien bahkan tidak eksis dalam dunia bisnis kepengacaraan.

Fenomena seperti itu tampaknya sudah dianggap sebagai sesuatu yang lazim dalam praktek peradilan di negeri ini. Kebenaran pastilah terkalahkan oleh materi. Mereka yang bersalah pun, apakah itu pejabat atau pengusaha, asal memiliki uang banyak dan mau menyewa pengacara kondang yang fragmatis, besar peluangnya untuk dimenangkan kasusnya kendati secara fakta mereka berada pada posisi yang salah atau bermasalah.

Sebaliknya, mereka yang terlibat atau dilibatkan dalam suatu perkara hukum, apalagi yang lemah secara materi sehingga tak mampu membayar pengacara kondang dengan harga mahal, pastilah akan mudah diombang-ambingkan. Bahkan mereka akan diarahkan untuk menjadi pihak yang harus bersalah meskipun secara faktual seharusnya berada pada posisi yang benar atau tak bersalah alias tak melanggar hukum.

Peran penting pengacara lainnya adalah sebagai juru lobi dan mediator, terutama dengan pihak penyidik, penuntut umum, para hakim yang menangani masalah, dan/atau juga dengan pihak-pihak berwajib lainnya yang terkait dengan masalah yang tengah ditangani. Peran ini biasanya dilakukan di luar meja pengadilan, ketika para pengacara dari pihak yang berada pada posisi lemah (atau tergugat) sudah pasti bersikap proaktif dalam menginisiasi lobi. Tak ada yang bisa menghalangi pertemuan-pertemuan informal itu karena memang tak ada aturan yang melarangnya.

Padahal dalam proses-proses itu pulalah berlangsung berbagai kesepakatan substansial yang bisa melancarkan penyelesaiannya saat di meja pengadilan. Kalaupun itu tak dilangsungkan di meja pengadilan, pada pertemuan resmi dengan pihak-pihak yang terkait intinya sudah terlebih dulu disepakati. Tepatnya, proses pelunakan hati pihak-pihak yang terkait, terutama yang dianggap berwenang, berlangsung selama pertemuan informal itu.

Celakanya, dalam proses-proses lobi atau negosiasi informal itulah terjadi tawar-menawar suatu perkara. Para pengacara, apalagi yang sudah memiliki jam terbang lama (berpengalaman), sudah pasti tahu betul nilai barter keadilan untuk meringankan beban para klien mereka. Sekali lagi, semakin berat beban hukum yang semestinya ditanggulangi, akan semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan untuk meringankannya. Sang pengacara pastilah sudah mengkalkulasi pula nilai nominal yang harus diterima sebagai imbalannya.

Karena itu, para klien pun sudah akan bersiap-siap mengeluarkan sejumlah biaya yang diperlukan itu, untuk dibayarkan kepada pihak yang terkait. Tepatnya, dalam proses-proses lobi dan negosiasi informal inilah berlangsung mafia peradilan, proses ketika nilai keadilan dan kebenaran, termasuk berbagai aturan, dimanipulasi dan diuangkan.

Tentu saja, proses-proses dan realitas hukum seperti itu tak akan pernah terbongkar kalau saja semua pihak diuntungkan atau dipuaskan. Terlebih lagi kalau para aktor yang berada dalam jaringan itu tetap mereka yang sealiran, sudah saling tahu, atau memiliki kecenderungan budaya, perilaku, dan orientasi yang sama.

Namun, kalau ada satu pihak yang dirugikan, ditambah dengan pergantian aktor-aktor yang berada dalam jajaran instansi terkait dengan orang-orang baru yang berwatak reformis, ceritanya menjadi berbeda. Kebobrokan para pelaku masa lalu berpeluang untuk terungkap ke publik.

Apalagi kalau media massa bersikap proaktif untuk melansir penyelewengan keadilan dalam proses-proses hukum yang berlangsung pada masa lalu. Karena itu, tidak aneh kalau akhir-akhir ini sudah mulai satu per satu terkuak mafia peradilan itu. Lihat saja misalnya, apa yang terjadi di Mahkamah Agung yang disinyalir melibatkan ketuanya (Prof Dr Bagir Manan, SH), atau kasus Abdullah Puteh yang dituduh berupaya menyuap hakim, dan terakhir kasus yang melibatkan Ali Mazi sebagai mantan pengacara Ponco Sutowo dan pengurusan hak guna usaha Hotel Hilton Internasional.

Semua proses itu, saya yakin, sebenarnya sudah diketahui oleh pihak penegak hukum, sudah pasti diketahui pula oleh pemerintah dari masa ke masa, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Begitu banyak kasus mafia peradilan yang secara langsung melibatkan para pengacara, tapi penegak hukum sama sekali tak bisa mengambil tindakan secara proaktif untuk mencegahnya. Padahal kalau hal itu tidak dilakukan, berarti kita tengah melakukan pembiaran praktek kejahatan peradilan yang ditoleransi oleh negara. Kita pun tak akan pernah mempertanyakan kekayaan para pengacara yang begitu melimpah sebagai buah dari jerih payah dalam memediasi atau memerankan secara berhasil mafia peradilan itu.

Celakanya, para pengacara seperti itu justru yang memperoleh penghargaan tinggi, baik dari masyarakat luas maupun dari pihak pemerintah, termasuk penegak hukum sendiri. Ya, barangkali memang kita semua ini berada dalam negara mafia sehingga para pengacara sangat berperan melanggengkannya dan pemerintah terus membiarkannya.

La Ode Ida, Wakil Ketua DPD RI

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 3 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan