Pencucian Uang Setya Novanto Harus Segera Diusut
Pada tanggal 14 Juni 2019, koruptor kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el) Setya Novanto diketahui pelesiran ke toko bangunan di Padalarang, Kabupaten Bandung, bersama dengan istrinya. Ia dapat keluar dari selnya dengan dalih berobat dan petugas yang bertanggungjawab mengawal Setya Novanto lalai menjaganya. Medio April 2019 pun Ia juga pernah terlihat sedang makan di warung Padang sekitar RSPAD Jakarta.
Pelesirannya Setya Novanto merupakan fenomena gunung es yang telah lama terdeteksi semenjak Gayus Tambunan tertangkap ketika sedang menyaksikan pertandingan tenis di Bali. Ada delapan kasus yang mencuat terkait napi korupsi yang pelesiran. Namun sayangnya mekanisme evaluasi terhadap tata kelola Lapas yang dilakukan oleh Kemenkumham pun belum berjalan optimal. Apalagi dengan adanya jual beli fasilitas, suap menyuap di dalam Lapas memperparah kondisi tersebut.
Di lain sisi penegak hukum pun juga berkontribusi terhadap banyaknya koruptor yang masih dapat menikmati uang korupsinya meskipun sedang berada di balik jeruji. Hal tersebut tergambar dari catatan ICW mengenai penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch selama tahun 2016 hingga 2018 Komisi Antirasuah hanya 15 perkara korupsi yang dikenakan pasal pencucian uang dari 313 perkara. Ini memperlihatkan bahwa visi mengenai asset recovery belum menjadi prioritas.
Dampak yang timbul karena tidak diterapkannya perampasan aset terhadap koruptor yaitu terjaringnya Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen dalam operasi tangkap tangan bersama dengan koruptor kasus korupsi Bakamla, Fahmi Darmawansyah yang dilakukan oleh KPK. Dari kejadian tersebut menunjukkan bahwa koruptor yang berada di dalam Lapas sekalipun masih memiliki sumber daya ekonomi untuk membayar fasilitas mewah di dalam sel.
Dalam kasus KTP-el yang nilai kerugian negaranya sekitar Rp2,3 triliun nyatanya pengembalian uang korupsinya hanya sekitar Rp500 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya asset recovery jauh dari panggang api. Maka dari itu tidak heran jika Setya Novanto dapat melenggang bebas ke toko bangunan ketika perbandingan antara nilai kerugian negara yang timbul dengan pengembaliannya sangat timpang.
Keterkaitan TPPU dengan korupsi pada dasarnya sangat erat, baik dari segi yuridis maupun realitas. Untuk yuridis sendiri korupsi secara spesifik disebutkan sebagai salah satu predicate crime dalam Pasal 2 UU TPPU. Ini mengartikan bahwa pencucian uang salah satunya dapat diawali dengan perbuatan korupsi. Oleh sebab itu prinsip follow the money harus dilakukan pada setiap kasus agar Political Expose Person dapat terbongkat.
Selain itu realitas hari ini menunjukkan bahwa para pelaku korupsi akan selalu berusaha untuk menyembunyikan harta yang didapatkan dari praktik-praktik rasuah. Dengan disembunyikannya harta tersebut maka seharusnya Pasal TPPU dapat dikenakan pada setiap pelaku korupsi tak terkecuali Setya Novanto.
Dalam UU TPPU juga mengakomodir sebuah instrumen yang mana dapat memaksimalkan pemulihan kerugian negara. Pasal 77 UU TPPU memungkinkan untuk menggunakan model pembalikan beban pembuktian, dimana beban pembuktian ada pada terdakwa untuk menjelaskan asal usul hartanya. Jika itu tidak dapat dijelaskan maka dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim untuk merampas harta tersebut
Oleh karenanya KPK harus segara merealisasikan pernyataan yang pernah disampaikan pada saat penuntutan korupsi KTP-el bulan Maret 2018 terhadap terdakwa Setya Novanto. Jaksa dari KPK menyampaikan bahwa kasus yang melibatkan Setya Novanto bercitarasa pencucian uang sebab telah tergambar pola transaksi yang dilakukannya yaitu melalui Money Changer.
Maka dari itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar:
1. Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengenakan pasal pencucian uang terhadap Setya Novanto untuk merampas aset yang dimilikinya
2. Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan dapat mengoptimalkan pengembalian aset dari kasus korupsi KTP-el.
Jakarta, 21 Juni 2019
Narahubung:
Wana Alamsyah
Kurnia Ramadhana