Pencemaran Nama Baik; "Kanker Demokrasi"

Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan, pasal pencemaran nama baik—Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana—konstitusional. Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap setiap hak konstitusional yang ditegaskan dalam Pasal 28 G Ayat 1 dan 2 UUD 1945.

”Sabda” ini sudah dijatuhkan pada 15 Agustus 2008 saat Bersihar Lubis dkk mempersoalkan pasal-pasal tersebut, kemudian diulang untuk kedua kalinya pada 5 Mei 2009 ketika sejumlah pihak mempersoalkan pemberlakuan pasal pencemaran nama baik di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam putusan terkait UU ITE, Mahkamah Konstitusi (MK) sangat menyadari bahwa kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat merupakan jantung demokrasi, darah hidup demokrasi. Namun, kebebasan itu diakui MK memerlukan pembatasan demi penghormatan harkat dan martabat orang lain.

Apabila demikian, masih mungkinkah berharap MK meninjau kembali pasal penghinaan dan pencemaran nama baik ini?

Advokasi penghilangan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik mulai diserukan lagi pascapenetapan tersangka dua aktivis Indonesia Corruption Watch. Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari dijerat ketika mencoba mengungkap persoalan dalam uang pengganti dari kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung. Berita dimuat di harian Rakyat Merdeka pada 5 Januari 2009.

Sebetulnya, ada banyak kasus pencemaran nama baik. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat 4 kasus pencemaran nama baik pada 2004, 3 kasus pada 2005, 4 kasus pada 2006, 1 kasus pada 2008, dan 11 kasus pada 2009. Data itu belum mencakup penggunaan pasal itu terhadap warga negara biasa, seperti Prita Mulyasari (dugaan pencemaran nama baik RS Omni Internasional) dan Khoe Seng Seng (pencemaran nama baik via surat pembaca). Dua kasus terakhir sempat menghias halaman media cetak dan elektronik.

Melihat kondisi ini, rasanya menjadi relevan untuk mempersoalkan Pasal 310, 311, dan 316. Meski norma tersebut sudah dinyatakan konstitusional sebelumnya, MK dapat diminta meninjau kembali apakah “pemberlakuannya” konstitusional atau tidak. Peluang itu setidaknya dilihat oleh ahli hukum tata negara, Irman Putra Sidin.

Menurut dia, bahwa penghinaan dan pencemaran nama baik itu jahat memang benar adanya. ”Namun, untuk tetap mempertahankannya sebagai norma hukum, itu bisa diperdebatkan. Apalagi pemberlakuan pasal-pasal itu justru kontraproduktif,” ujar dia.

”Pasal kanker”
Menurut Irman, pasal tersebut sudah berubah menjadi kanker yang penyebaran selnya tak kentara sehingga menjadi tak terkendali. Apalagi pasal ini tak hanya mengancam warga biasa dan aktivis. Pemegang kekuasaan pun dapat digerogotinya.

”Lebih bagus segera dimatikan. Kalau terus seperti ini, ia bisa mencapai stadium puncak. Maka, sendi-sendi bernegara rusak karena pasal warisan kolonial,” kata Irman.

Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy mengusulkan agar penghinaan dan pencemaran nama baik dihilangkan dari sistem hukum Indonesia. Kalaupun mau dipertahankan, ia mengusulkan agar hal itu masuk dalam ranah hukum perdata.

Dengan demikian, orangorang macam Prita Mulyasari, Emerson Yuntho, Illian Deta Arta Sari, atau Khoe Seng Seng tak perlu khawatir merasakan hukuman badan. Persoalan dugaan pencemaran nama baik bisa diselesaikan melalui jalur gugatan perdata, dengan hukuman denda dan uang pengganti kerugian materiil dan imateriil.  (ana)

Sumber: Kompas, 19 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan